Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap waktu adalah proses belajar
“Morning, Cita,” sapa Fadlan sambil mengejar Cita di lorong sekolah.
“Morning, Fadlan,” balas Cita dengan senyuman manisnya.
Fadlan berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Cita, “Taa, kata orang kalau mau pintar di sekolah harus belajar rajin, benar?” tanya Fadlan santai.
“Ga benar lagi, tapi harus gitu Fadlann, wajib bagi pelajar,” jelas Cita.
Fadlan tersenyum lebar mendengar jawaban dari Cita, “Iya, maka dari itu. Aku punya penawaran bagus buatmu,” sambung Fadlan dengan antusias.
“Penawaran apa? Jangan bilang bisnis kemarin, GA!” Cita teringat ketika Fadlan menawarinya bisnis sebagai joki waktu ujian dan kuis dengan imbalan uang kas bebas hingga tamat.
“Ga, Taa. Masih bisnis sii,” jelas Fadlan.
“Ga ya, sekolah tempat belajar supaya pintar dan ilmunya berkah. Bukan tempat bermain apalagi lulusan jalan tikus,” tegas Cita.
Fadlan semakin semangat mendengar penjelasan Cita, “Iyaa Taa, maka dari itu aku mau nawari bisnis yang bisa bikin anak muda Indonesia ini sukses menatap masa depannya,” terang Fadlan bangga.
“Kamu juga bicara itu kemarin,” balas Cita singkat.
“Taa, ini bedaa,” pantang menyerah Fadlan.
Cita menghentikan langkah kakinya, “Bisnis apa?” tanyanya santai.
Fadlan mengubah posisi berdirinya di hadapan Cita, “Kita buka les private, kamu pengajarnya, aku yang fasilitasi, memajukan generasi muda Indonesia kan,” terang Fadlan bangga dihadapan Cita.
Cita berfikir sejenak lalu melanjutkan langkah kaki menuju kelasnya yang berada di lantai dua meninggalkan Fadlan dengan sejuta bisnisnya, “Citaaa, barengg,” panggil seseorang dari belakang.
Cita berhenti dan menoreh ke belakang mendapati sahabat setengah berlari menghampirinya, “Taa, ni gue ada tiket konser besok di aula sekolah buat lu,” ucap Melody sesampainya di hadapan Cita.
“Makin keren aja sahabatku ini,” canda Cita sambil memeluk Melody.
Cita memperhatikan penampilan Melody dari ujung ramput hingga ujung kaki, “Makin glowing dan makin keluar aura bintangnya,” puji Cita.
“Bisa aja lu, tapi keren ga rambut baruku?” tanya Melody antusias sambil menyentuh ujung rambutnya.
Cita memperhatikan sebentar rambut Melody, lalu terdiam, “Gimana Ta? Kenapa diam? Tidak bagus ya?” tanya Melody berturut.
Cita tertawa melihat kepanikan Melody, “Diriku bagai dipeluk semilir angin di tengah hutan, kesejukannya memancar hingga ke punjuru semesta, menciptakan ketenangan di dalam sukma, Melody kamu cantik kali,” ucap Embun yang tidak tahu kapan datangnya.
Melody segera membalikan tubuhnya menghadap Embun, “Benarkah?” tanya Melody dengan mata berbinar.
“Benar, kamu cantik kali. Aura bintangmu, udah mulai keluar Ody,” sambung Cita.
Melody terharu dan langsung memeluk Cita dan Embun, “Berpelukan,” ucapnya girang.
“Oh iya, sahabatku yang sejernih embun di pagi hari, ini ada tiket konser besok di aula sekolah, wajib datang!” tegas Melody sambil memberikan satu tiket ke Embun.
Dari belakang dengan cepat Fadlan mengambil tiket tersebut, “Golden tiket, ada lagi ga? Biar gue jualin,” tawar Fadlan.
“Fadlan, itu tiket aku,” kesal Embun.
“Princes Embun sejernih mata air, abang Fadlan pinjam bentar ya,” ucap Fadlan lembut.
“Ada, banyak. Benar mau dibantu?” tanya Melody.
“Benar, 25% komisi buat gue setiap penjualan satu tiket,” tawar Fadlan.
Melody menimbang sebentar, “Kemahalan,” tambah Cita.
“15%” tawar Melody.
“20% deal?” tawar Fadlan.
“Deal,” ucap Melody lalu memberikan puluhan tiket ke Fadlan.