Setiap makhluk mempunyai tujuan tersendiri dalam hidup
Kelas dimulai dengan hati yang gembira, Fadlan yang tadi sempat kecewa sekarang telah tersenyum lepas lagi, ya bagi Fadlan kegagalan dalam bisnis adalah hal biasa dan wajar. Tidak terasa, dua jam belajar bersama Bu Merry berlalu. Kelas yang tadinya sunyi seketika dipenuhi sorak sorai, para siswa pada berhamburan keluar kelas menuju katin. Tidak bisa dimunafikan, kalau kantin adalah surganya para pelajar yang kelaparan dan gabut.
“Aku open jastip bagi yang malas ke kantin,” himbauan Fadlan di kelas.
Cita segera menghampiri meja Fadlan, “Lan, titip gorengan kak Inggit ya,” kata Cita sambil menyerahkan uang ke Fadlan.
“Okey bos que,” ucap Fadlan dengan hormat.
Fadlan mulai menawari jasanya ke penghuni kelas IPA A, “Mu ga pesan bro?” tanya Fadlan ke Angga yang masih sibuk dengan buku di mejanya.
“Skip dulu bro, habis ini gue ada rapat di ruang osis, ntar dingin,” balas Angga tanpa menatap Fadlan.
“Okey, Kael?” panggil Fadlan yang berada di sebelah Angga.
Kael menatap Fadlan, “Seperti biasa bro, tapi bentar lagi mau ke lapangan,” ucap Kael mengantung.
“Aman, ga sampai lima menit kok,” balas Fadlan cepat.
“Kok bisa gercap gitu, Lan?” tanya Melody yang berada di belakangnya.
Fadlan segera membalikan tubuhnya, “Gue dah kerjasama dengan kak Inggit, tinggal jemput aja,” jawab Fadlan sembari memperlihatkan ponselnya ke Melody.
“Keren,” ucap Melody tanpa berkedip.
Fadlan segera ke kantin menjemput pesanan teman-temannya, kerjasama dengan kak Inggit sangat membantu Fadlan menjalankan bisnisnya. Suasana kelas kembali sunyi. Hanya sedikit yang masih berada di kelas dan semuanya sibuk dengan urusan masing-masing.
“Taa, aku penasaran deh,” ucap Melody yang telah menyatukan mejanya dengan Cita untuk memakan bekal yang mereka bawa.
“Penasaran apa?” tanya Cita santai.
Melody membuka bekalnya dan memakannya terlebih dahulu, “Kenapa kamu mau mengajar kami tanpa bayaran?” tanya Melody pelan.
Cita masih diam sambil memakan bekalnya, “Mu ga kuatir gelar juara kelas di rebut? Atau bisajadi gelar bintang sekolah,” tambah Melody.
Cita menatap Melody sebentar, “Malahan aku bersyukur bisa belajar bareng,” jawab Cita santai.
“Kenapa bersyukur? Mestinya kamu kuatir, Ta!” kata Melody penuh penekanan.
“Dari kecil aku lebih sering belajar sendiri kecuali tugas kelompok, aku juga tidak pernah les, hanya belajar otodidak di kamar sendirian, aku kesepian. Banyak orang yang menganggap orang pintar itu pelit ilmu. Orang juara kelas itu, sombong dan tidak mau berbagi. Namun sebenarnya tidak, Ody,” jelas Cita.
“Why not?” tanya Melody semakin penasaran.
“Sebenarnya mereka mau mengajari, mau berbagi tapi tidak instan Ody, karena mereka berjuang untuk mendapatkan itu,” jelas Cita.
“Karena pintar bersama itu lebih indah daripada hanya mengerti satu orang saja. Tanya aja, mari belajar bersama namun jangan menyalin ataupun hanya sekedar mencontek,” tambah Cita.
Melody hanya mengangguk pertanda paham, “Sama hal dengan kamu, kenapa kamu suka menyanyi? Apa kamu ga takut orang meniru gaya menyanyi kamu?” tanya Cita.
Melody terdiam mencerna perkataan dan pertanyaan Cita, “Ga, malahan aku senang, itu ciri khasku,” jawab Melody.
“Ya, begitulah aku, aku senang karena berbagi itu sedekah, satu ilmu yang aku ajari, akan melekat dalam ingatanku dan aku yakin akan bertambah lebih banyak,” terang Cita.
Cita dan Melody sama-sama terdiam dan menikmati bekal mereka masing-masing, sesekali mereka tukaran lauk. Embun dari tadi setia menjadi pendengar terbaik diantara obrolan Cita dan Melody.
Baru beberapa suapan bekal dimakan, Fadlan datang dengan belanjaan yang banyak. Fadlan mulai memberikan pesanan, senyumnya tidak pernah hilang. Fadlan begitu bahagia dengan sejuta bisninya, ia mampu mendapatkan Rp30.000-Rp50.000 hanya dari open jastip tersebut. Setelah membagikan pesanan, Fadlan segera menghampiri meja Cita yang disana juga terdapat Melody dan Embun.
“Ta, kapan kita mulai lesnya?” tanya Fadlan sambil membuka bekalnya dan ikut nimbrung makan bersama dengan Cita, Melody, dan Embun.