Aku hanya dedaunan yang gugur pasti musnah, apa itu untuk menjadi pupuk bagi tanamanku sendiri atau terbang bersama angin menjadi pupuk di tanaman lain. Satu hal yang tidak aku inginkan, dikuasai angin dan menjadi sampah masyarakat.
Di taman, di bawah pohon palem sekolah mereka berenam masih asyik menonton film sembari ngemil. Banyak tawa yang tercipta di antara mereka, tak ada lagi kata sungkan, kata malu, perdebatan Melody dan Kael, kedewasaan Angga, kepuitisan Embun, kecerdasan Cita, dan bisnisnya Fadlan. Semuanya satu dan sebaya, sama-sama remaja awal yang sedang mencari jati diri. Pakaian putih abu-abu masih menemani mereka, hampir satu jam berlalu.
“Kok mati?” tanya Fadlan menatap yang lain.
Embun segera maju ke depan dan mengecek laptopnya, “Kenapa, Mbun?”
“Habis daya, aku ga bawa charger,” ucap Embun pelan.
“Yaah,” pasrah Kael.
Fadlan mengubah posisi duduknya menjadi berdiri, “Padahal dikit lagi tu,” tambah Fadlan.
Rasa kecewa tidak bisa disembunyikan dari wajah mereka, Embun mengambil laptopnya dan menyimpan kembali ke dalam tas. Posisi yang tadi sejajar saat ini kembali membentuk sebuah lingkaran.
“Pukul berapa, Ta?” tanya Fadlan menatap Cita.
Cita mengangkat satu lengannya yang di sana terbelit sebuah jam kecil berwarna biru, “13.50 WIB,” jawab Cita singkat.
“Masih siang,” ujar Angga.
“Lama lagi nunggu jemputan,” tambah Embun.
Embun kembali menyalakan musik melalui ponselnya. Lirik lagu menemani mereka sembari menunggu jemputan, Melody ikut bernyanyi. Di bawah pohon palem sekolah selalu membuat mereka nyaman. Fadlan yang tadinya duduk di samping Kael segera mengubah posisinya bersandar ke batang pohon sembari menatap ke atas.
“Apa gue bisa masuk prodi bisnis ya?” tanya Fadlan sendiri.
Semua mata tertuju pada Fadlan, “The next sultan,” ucap Angga menatap Fadlan.
Fadlan masih menatap ke depan, “Nanti, setelah di bisnis, gue akan bangun sekolah banyak yang kantinya juga banyak agar tidak mengantri lagi kalau ke kantin,” ujar Fadlan serius.
Semuanya tidak bisa menahan tawa mendengar ucapan Fadlan, tujuan Fadlan kuliah di prodi bisnis membangun sekolah dan kantin yang banyak. Fadlan mengalihkan pandangan menatap temannya satu per satu.
“Kalian kenapa ketawa?” tanyanya heran.
Melody masih belum bisa menahan tawanya, “Membangun kantin?” tanya Melody memastikan dan tertawa lagi.
Fadlan mengambil satu ranting yang tidak jauh dari posisi duduknya dan melempar ke arah Melody, “Itu baru 0,01%” jawabnya santai.
“Siapa tahu the next sultan mau menguasai semua kantin sekolah,” ucap Angga lalu merangkul pundak Fadlan.
Fadlan terdiam sebentar mencerna perkataan Angga, “Wah, ide bagus” ucapnya dengan mata berbinar.
“Nanti semua kantin sekolah gua yang punya,” tambah Fadlan antusias.
“LANN,” panggil Cita dengan tawanya.
Fadlan langsung berdiri dan berjalan ke arah Kael lagi untuk mengambil tasnya. Di keluarkan satu buku dan pena. Fadlan duduk di kursi yang tadinya menjadi tempat laptop Embun ketika mereka menonton. Fadlan segera menuliskan idenya tadi di sebuah buku bersampul hitam.
“Bos semua kantin sekolah 2030,” baca Kael yang berada di belakang Fadlan.
“AAMIIN,” jawab Fadlan keras.