Berdiri dengan tatapan kosong, masih dengan handphone yang menempel di salah satu telinganya. Bukan ini yang diinginkan Narada, air mata yang tiba-tiba jatuh di kedua pipinya mendengar kabar yang sebenarnya sangat melukai hatinya.
“Ini nggak mungkin!” Hanya itu yang mampu ia katakan sambil menggeleng-nggelengkan kepalanya berulang kali.
Terkejut itu pasti, apalagi yang ada di pikiran gadis bertumbuh tinggi dengan paras menawan ini. Ketika beberapa detik yang lalu seorang petugas kepolisian menelponnya untuk memberi kabar, bahwa kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan beruntun di salah satu tol yang berada di Kota Jakarta.
Narada memilih duduk sebentar di trotoar yang berada di sebelah kirinya. Rasa lemas itu tidak terkira, ia ingin menuju ke rumah sakit dimana kedua orang tuanya akan dibawa sekarang. Tapi, berdiri pun rasanya tidak mampu, air matanya bercucuran tak menentu, membayangkan bagaimana ayah dan ibunya sangat menyayanginya selama ini, membayangkan bagaimana mereka selalu berjuang demi membahagiakan anak-anaknya, tak pernah sekalipun kasih sayang itu berkurang untuknya dan untuk adik-adiknya. Tapi, semua itu lenyap dalam satu hari dan tidak akan pernah ia rasakan lagi di hari-hari berikutnya.
“Ayah ... ibu ... kenapa kalian meninggalkan aku secepat ini?” keluhnya masih dengan air mata yang bercucuran di kedua pipinya. Narada mencoba perlahan beranjak dari trotoar dimana dia duduk, dia mengusap kedua air matanya, lalu segera menghentikan taksi.
Lima menit kemudian, satu taksi berwarna biru toska berhenti tepat di hadapannya.
“Neng, mau kemana?” tanya supir taksi itu sambil membuka jendela pintu bagian depan agar wajah Narada terlihat olehnya.
“Ke Rumah Sakit Pusat Pertamina, Pak,” jawab Narada singkat.
“Ya udah, masuk Neng!”
Mendengar jawaban dari sopir taksi, membuat Narada segera membuka pintu dan masuk. Selepas pintu di tutup, taksi itu melesat menuju Rumah Sakit Pusat Pertamina.
Dalam perjalanan yang lumayan memakan waktu sekitar satu jam menuju ke rumah sakit, Narada terus diam, ia sangat menahan air matanya untuk keluar. Wajah kedua orang tuanya terus terbayang di dalam benaknya, ia belum sempat membalas budi kepada kedua orang tuanya. Melihatnya saat ini, ia masih seorang mahasiswi jurusan bisnis di salah satu kampus negeri di Jakarta.
Tatapan mata kosong masih sangat terlihat dari pandangan mata Narada, dia hanya bersandar di kursi dan menatap keluar jendela. Sontak sopir taksi itu beberapa kali melihat kaca tengah yang ada di hadapannya untuk melihat gadis cantik yang tidak banyak bicara, tatapan matanya terlihat seperti khawatir, tapi sopir taksi itu mengurungkan niat untuk bertanya atau mengajak Narada berbicara. Membiarkan suasana di dalam taksi itu hening sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit.
Satu jam telah berlalu, taksi itu berhenti di depan pintu loby rumah sakit, Narada mengucapkan terimakasih dan memberikan ongkos taksi kepada sopir yang masih ada di dalam taksi. Sopir itu mengangguk dan pergi meninggalkan rumah sakit.
Tanpa berlama-lama, Narada berlari menuju ke resepsionis. Menunjukkan foto kedua orang tuanya dan menyebutkan nama mereka.