“Kalian mesra sekali.” Tante Frederika berkomentar.
"Sudah kuduga tanteku ini bermuka dua, mana mungkin dia bersedih dengan kematian kakak tirinya. Aku yakin ada maksud tertentu sampai dia pulang ke Indonesia untuk melayat." Pikir Narada terus berguman dalam hati.
Tiba-tiba saja tante Frederika duduk di sebelah mereka lalu dengan centilnya mencoba berbicara dengan baik kepada Narada dan kedua adiknya.
“Tante, ingin menunjukkan sesuatu kepada kalian. Tante rasa waktu berkabung kalian tujuh hari saja sudah cukup, kan?” Masih dengan senyuman yang terlihat menjengkelkan.
"Apa maksudnya dengan berkata tujuh hari? Kita berkabung dan kehilangan untuk selama-lamanya, kenapa tante bisa bilang tujuh hari itu cukup." Narada membatin dengan jengkel melihat ke arah tantenya.
“Oke, Langsung kepada intinya saja. Kalian harus membaca surat perjanjian ini!” Tante Frederika mengambil sebuah amplop dokumen dari dalam tasnya lalu memberikan amplop itu kepada Narada.
Narada pun menerima amplop itu, Narada mulai membuka amplop dokumen lalu melihat sendiri apa isinya. Narada menemukan satu bendel kertas lalu dikeluarkannya dari dalam amplop. Narada membaca perhalaman hingga membuat keningnya berkerut, adik laki-lakinya pun ikut membaca walaupun tidak semua. Narada terkejut, mulutnya mulai menganga lebar membaca dokumen itu lembar demi lembar.
“Apa maksud tante?” Narada ingin penjelasan nyata dari mulut tantenya yang tidak punya perikemanusiaan ini.
“Tante yakin kamu sudah paham dengan isi surat perjanjian itu, kamu bukan mahasiswi yang bodoh, kan?Rumah dan tanah ini otomatis menjadi milik tante ketika ayah kalian meninggal. Itu resikonya jika berani berhutang dengan tante. Jadi—“
“Jadi tante ingin mengusir kita dari rumah ini?” sahut Narada sedikit meninggikan suaranya, perasaan yang berkecambuk bercampur dengan emosi yang ditahannya kuat-kuat. Narada ingin mengetahui maksud yang sebenarnya dari tantenya ini.
“No, no, no ... tante tidak mungkin berbuat sejahat itu dengan keponakan – keponakan tante. Tante akan membawa kalian ke Paris. Rumah ini akan tante jual, karena mungkin tante tidak akan pernah kembali lagi ke Indonesia, begitu juga dengan kalian bertiga. Kehidupan kalian akan jauh lebih baik disana. Pendidikan dan kehidupan kalian akan sangat terjamin,” Penjelasan Tante Frederika terlihat sangat meyakinkan tapi tidak sedikitpun menggoyahkan Narada untuk tergiur dengan tawarannya.
Narada tersenyum menyeringai. “Sudahlah Tan, tidak usah bersandiwara di depan kami. Jaminan yang tante berikan itu pasti tidak gratis, kan?Aku yakin pasti ada maksud di balik semua ini.” Narada sedikit menjelaskan pikirannya kepada tante Frederika.
Tante Frederika langsung berdiri tertawa dengan begitu keras. “Ha, ha, ha, ha ... itulah mengapa tante ingin membawamu dan adik-adikmu ke Paris. Kalian terlahir dengan kecerdasan dari ayah kalian, tante yakin kalian bisa bekerja untuk tante di sana. Memang betul sekali, jaminan kehidupan kalian di Paris itu tergantung kerja keras kalian, kita harus berfikir realistis karena semua tidak ada yang Gratis.” Senyuman Tante Frederika adalah sesuatu yang paling di benci oleh Narada, itu bukan tanpa alasan. Karena, senyuman Tante Frederika selama ini selalu menyimpan sesuatu yang buruk untuk Narada dan keluarganya.
Narada tidak banyak berfikir lagi. “Bagaimana jika aku menolak tawaran tante?Apa yang akan tante lakukan?” Narada mencoba peluang untuk bernegosiasi, ia ingin sekali tetap tinggal di Indonesia. Ia takut mendapatkan kesialan yang lebih banyak ketika hidup dengan seseorang seperti Tante Frederika.
“Well, tante sudah menduga kalau kamu pasti akan menanyakan hal ini. Okey, tante tidak keberatan, kamu tetap bisa tinggal di Indonesia dan tetap bisa tinggal di rumah ini dengan syarat kamu harus membeli rumah dan tanah ini seharga lima ratus juta. Tapi ... kamu harus memberikan uang itu selama dua minggu,” jelas Tante Frederika sambil memainkan kuku jemari di kedua tangannya.
Narada menggeleng-nggelengkan kepalanya dengan perasaan kesal masih duduk di sofa. “Tante memang licik.”
“Apa kamu bilang?” Tante Frederika mendekati Narada. Sifat asli Tante Frederika muncul dalam sekejap sambil mencengkeram dagu Narada dengan cukup keras.
"Apakah aku salah?Tante memang sangat licik." Narada mengulangi ucapannya lagi. Tangan Tante Frederika yang mencengkeram dagu Narada semakin kuat, Narada mencoba menahan dan masih terus menatap tajam mata tantenya sambil menutupi wajah Sifana dengan telapak tangannya agar Sifana tidak melihat kekerasan yang dilakukan tantenya ini kepadanya.
Melihat Tante Frederika menyakiti kakaknya. Taro mencari cara untuk menghentikan tantenya ini. Ia berdiri dari tempat duduknya mendekat ke arah tantenya lalu dengan tiba-tiba menggigit dengan cukup kuat pergelangan tangan tantenya hingga membuat tantenya ini berteriak.
“Aww!” Tante Frederika spontan melepas tangan kanannya yang sedang mencengkeram dagu Narada, lalu melihat luka gigitan yang sedikit mengeluarkan darah di pergelangan tangan kanannya. Tante Frederika terlihat kesal dengan membabi buta tante Frederika mendatangi Taro kemudian menjambak rambutnya dengan sangat keras.
"Jadi kamu berani dengan Tante?" Suara menggertak mulai terdengar.
Narada memerintahkan Sifana untuk masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Sifana pun menurut karena ia sangat takut melihat kejadian ini.
“Aww, sakit tante, ampun, lepasin Tante!” teriak Taro sambil memegangi rambutnya.
Narada mengumpulkan segenap tenaganya lantas mendorong tubuh tantenya dengan sekuat tenaga untuk menjauh dari adiknya dan tantenya berhasil jatuh ke lantai. Narada sudah benar-benar emosi, untuk pertama kalinya dia melawan orang yang lebih tua dari dirinya.