Suami 500 Juta

R.Rr. Stanislasia Novalen Ashatri
Chapter #3

Memutuskan

Wajah Narada terlihat sangat terkejut mendengar pertanyaan dari Leri.

“Aku yakin, ekpresi wajahmu pasti seperti ini. Tapi, dia pasti mau memberimu lima ratus juta. Itu bukan uang besar baginya. Tapi ya ... kamu harus mau menikah kontrak dengannya.” Leri memberikan penjelasan yang membuat Narada benar-benar dilema sekarang.

Banyak pertanyaan berkecambuk di benak Narada, membayangkan banyak hal yang akan menghampirinya ketika memilih untuk menikah, dia terus mempertimbangkan dalam hati berharap ada sebuah titik terang yang mampu meyakinkan dirinya sendiri untuk memutuskan yang terbaik untuknya saat ini.

Tanpa sadar Narada sudah melamun beberapa saat dan tidak menghiraukan Leri yang mengajaknya bicara sejak tadi.

“Ra ... Ra ... Nara!” panggil Leri mengayunkan telapak tangannya di wajah Narada.

Narada tersadar. “Ah maaf, Ler. Aku jadi melamun, kalau aku menolak tawaran itu bagaimana?”

“Nggak masalah sih, Ra. Tapi ini hanya pernikahan kontrak lo, hanya setahun kamu menjalani sama dia. Soalnya kata Papa, dia itu hanya ingin orang tuanya tidak mendesak dan menyuruhnya untuk berkencan dengan banyak wanita. Setelah setahun, kamu bisa bebas dan kamu akan tetap bisa tinggal di rumah itu, kan?” ucapan Leri kembali membuat Narada bimbang, dia sudah lama tidak menjalin hubungan asmara dengan siapapun karena janjinya kepada orang tuanya dulu untuk lulus dengan nilai sempurna tanpa berpacaran. Apakah Ia harus melanggar janjinya dengan menikah?

“Aku paham kamu pasti bingung, aku akan memberimu waktu sampai hari sabtu pagi. Kalau kamu berubah pikiran kamu harus menemuiku di rumah. Tapi, kalau kamu tidak berubah pikiran kamu cukup menelponku,” ucap Leri sambil menggenggam tangan sahabatnya yang masih dalam kebingungan.

“Kenapa harus sabtu pagi?”

“Karena sabtu malamnya, Papaku akan benar-benar mengajukan aku menjadi calon istrinya. Aku tidak mau karena aku punya pacar, Ra. Aku sangat berharap kamu berubah pikiran.” Penjelasan sahabatnya ini seolah memaksanya untuk berkata iya. Tapi, untuk sekarang pun ia tidak tahu harus bagaimana.

“Baiklah, aku akan memikirkannya dan mengabarimu sabtu pagi,” jawab Narada sambil tersenyum.

***

Beberapa hari berlalu, Tepatnya di hari rabu Narada mendapatkan pekerjaan paruh waktu di sebuah supermarket sebagai kasir. Ia mengesampingkan hal pribadinya dan fokus untuk melayani pelanggan. Sedangkan di rumah, Taro diberi tugas olehnya untuk menjaga Sifana selama dirinya bekerja di supermarket.

Malam pun datang, Narada cukup lelah dengan pekerjaan pertamanya di supermarket hari ini. Mungkin, karena belum terbiasa. Setelah selesai bekerja, Narada memilih duduk dulu di depan supermarket sambil meminum air putih yang ia bawa dari rumah. Mumpung ada sebuah kursi kosong yang tidak digunakan oleh siapapun di sana. Pandangan mata Narada menghadap ke arah langit malam, menikmati sinar bulan yang begitu terang.

“Ayah ... ibu ... hari ini adalah hari pertama Narada bekerja. Apakah ayah dan ibu melihatnya?” Narada bergumam sendiri sambil memandang langit malam, ia sudah sedikit lebih tegar untuk membicarakan orang tuanya sekarang. Tidak ada waktu untuk terus bersedih walaupun air matanya kadang mengalir tanpa dia sadari. Karena sekarang, adik-adiknya membutuhkan biaya sekolah, makan dan kebutuhan lainnya. Ia juga harus memikirkan sendiri biaya kuliahnya.

Tiba-tiba pikirannya kembali kepada tawaran Leri saat itu, ia masih menimbang-nimbang apa yang harus ia putuskan. Ia juga penasaran dengan anak teman Papanya Leri, ia sampai lupa menanyakan apakah duda itu sudah tua atau masih muda dan siapa namanya? Sepertinya beberapa pertanyaan mulai bermunculan di dalam kepalanya. Melihat hari semakin malam, ia memilih untuk mengesampingkan pikirannya sejenak dan membeli nasi goreng yang ada di depan supermarket.

Setelah beberapa saat berjalan, Narada sampai di sebelah warung nasi goreng.

“Bang, Nasi gorengnya tiga, di bungkus, ya!”

“Pedes apa nggak, Neng?” tanya tukang nasi goreng.

“Pedesnya satu aja yang dua nggak pedes,”jelas Narada sambil duduk di sebuah kursi kosong di dalam warung nasi goreng.

“Di tunggu ya, Neng.” Ujar tukang nasi goreng sambil menyiapkan pesanan nasi goreng milik pelanggan lain.

Lihat selengkapnya