Busan, 1990
Malam telah tiba. Perempuan itu menarik napas lega. Penderitaannya telah usai. Perempuan itu memandangi wajah suaminya yang letih menunggu sejak pagi. Tangisan bayi perempuan membawa kebahagiaan terdalam. Semilir angin berpacu dari pantai Haeundae. Pantai berpasir putih itu menaburkan aroma nan indah. Deru gelombang mengendap-endap masuk ke dalam rumah mungil itu. Pahatan kayu jati warna cokelat tua mengokohkan tempat berteduh suami istri yang baru saja mendapatkan kado istimewa.
Perempuan itu – ibu si bayi – berkulit putih, berwajah oval dan bermata sipit. Perempuan itu tak henti-hentinya memandangi mata bayi yang masih tersendak-sendak menahan tangis. Di sampingnya, seorang laki-laki duduk bersila. Laki-laki itu berkulit kuning langsat, berwajah tirus, janggut dan kumisnya tumbuh tak beraturan, tingginya hanya dua senti terpaut darinya. Laki-laki bermata lebar itu tak berhenti mengucap rasa syukur.
Bayi perempuan itu diberi nama Melodi. Kim Melodi. Sebuah nama terasing yang pernah didengar perempuan yang baru melahirkan anaknya. Melodi adalah pilihan terbaik dari suaminya. Kata itu sebagai pelepas rindu teramat sangat pada suatu kejadian masa lalu dan bahasa yang hampir terlupa dalam ingatannya sejak sepuluh tahun terakhir. Hampir tak pernah laki-laki itu melafalkan bahasa ibu di negeri asing ini. Laki-laki itu tak menampik, dirinya sangat terasing. Laki-laki itu bertahan demi cinta dan kasih sayang yang tidak didapatinya di negeri sendiri.