Slow Restaurant, Busan, 2015
Awal tahun yang membosankan. Semua rencana berantakan. Gadis itu tidak bisa berkata banyak saat kedua orang tuanya meminta bertahan. Paris tinggal kenangan. Venessia hanya mampu dilihat dalam angan-angan. Monte Carlo cukup jadi bagian terkecil dari keinginannya. Apa pula alasan kedua orang tuanya? Ia bukan anak kecil. Oh, sebuah deskripsi yang mendalam mengenai pemilihan kalimat itu. Aku bukan anak kecil!. Norak sekali. Ia sudah gadis. Bahkan, sudah sangat dewasa. Akhir masa pencarian jati diri yang ditutupnya dengan begitu manis. Selesai pendidikan pascasarjana dalam bidang manajemen dengan nilai sangat memuaskan dari kampus nomor satu negeri ini. Perkuliahan padat telah dilaluinya dengan serius. Uang jajan ditabungnya sampai penyakit mag kambuh di sela-sela materi ujian rumit.
Gadis itu ingin memanjakan dirinya. Traveling.
Busan sangat membosankan baginya. Seoul sudah jadi rumah kedua. Pulau Jeju teramat sering dijejakinya, terakhir bulan lalu saat perpisahan dengan teman-teman seangkatan. Sebagian besar temannya sudah merealisasikan impian mereka. Ada yang melanjutkan doktoral ke luar negeri. Ada yang menikah. Ada yang sudah jadi karyawan di perusahaan besar. Ada yang sudah jalan-jalan; sama seperti cita-citanya selama ini.
Traveling yang tinggal kenangan.
Gadis itu berandai-andai. Berharap pada waktu yang mampu menghipnotis kedua orang tuanya. Semua bisa saja mungkin di dunia ini. Kedua orang tua yang begitu mencintainya pasti sangat terkesan dengan kisah perjalanan seorang gadis ke negeri asing. Seorang diri. Berkelana mencari hiburan. Hiburan yang menyenangkan. Sangat menghibur bisa melihat pernak-pernik negeri yang tidak mengeri bahasa hangul. Perjalanan ini – layaknya – ajang pedalaman bahasa nomor satu dunia. Ia sudah menulis di buku catatan penting akan naik ke puncak tertinggi Menara Eiffel. Ia tak lupa menggaris-bawahi percikan sungai dengan rumah terapung di Venessia.
Indah sekali khayalan itu. Sayangnya, ia hanya menghirup udara hampa dalam kesegaran pagi di tepi pantai Haeundae. Pantai ini satu-satunya wisata termegah yang pernah dilihatnya sejak kecil. Tiap musim panas antara Juli sampai Agustus, pantai ini adalah surga wisatawan. Pesta selancar bisa terjadi tiap hari di pantai yang dipagari gedung-gedung tinggi. Deru ombak yang menawan. Laut biru membentang ke semenanjung pulau Dongbaek. Wisatawan bebas menarikan apapun. Berjemur adalah pilihan tepat bagi para bule sambil mengintip matahari terbit maupun tenggelam dibalik bukit dan gedung-gedung mewah.
Gadis itu sangat bosan. Dipengkurnya kepala ke meja plastik berwarna biru muda. Rasanya, ia ingin teriak sekuat tenaga. Mengapa hidup ini mesti ada pengawasan?
“Hei! Kamu tahu sekarang jam berapa?” sebuah suara berdentang kuat di telinganya. Gadis itu tak mengubris. Suara sumbang itu tak lain milik seorang gadis seusianya yang gemuk, muka temben, kulit putih pucat, rambut dikucil dua, mengenakan kaos oblong warna-warni, rok kembang satu warna dan sepatu sport putih kusam.
“Ayolah! Kamu harus ke pasar, Kim Melodi!”
Benar. Kim Melodi namanya. Gadis itu hampir saja kehilangan nama berkah sepanjang pengetahuannya itu. Melodi tak lain nama terbaik dan tersering diejek oleh teman-temannya semasa sekolah dasar sampai selesai pendidikan tinggi. Appa sangat menyukai kata melodi, tanpa sebab, tanpa akibat pasti yang ia harus ketahui.
Melodi mendongak. Dugaannya benar. Gadis sekarung goni itu berkacak pinggang. Kaos oblong yang dikenakan hari ini memiliki motif bola-bola. Setiap mata yang memandang pasti akan takjub dan silau dengan perpaduan warna yang begitu mencolok. Hitam. Putih. Biru. Hijau. Kuning. Abu-abu. Merah. Semua bercampur di seluruh badan. Kaos oblong sepinggang itu dipadu dengan rok kembang warna hijau tua selutut dan sepatu putih yang sama dengan kemarin.
“Kamu tahu? Aku adalah lulusan kampus terbaik negeri ini yang tak boleh dibentak!”
“Begitu?” si pemilik restoran yang mengaku usahanya laku keras itu menyelidik penuh dengki. “Aku ini atasan kamu!”
“Kamu cuma lulusan SMA!”
“Tak sekolah pun tak apa asalkan ada kerja. Dari mana kamu? Sudah selesai kuliah masih saja mengekor dibelakangku!”
Melodi terdiam. Menunduk lesu. Si gemuk itu. Sarah Jung, banyak benarnya. Gadis yang dikenal sejak sekolah dasar itu tak banyak berubah. Lahir dari keluarga berada di Busan namun enggan melanjutkan pendidikan. Sarah memilih buka usaha sendiri dan cukup berhasil. Slow Restaurant namanya.
Melodi mendengkur. Lulusan pascasarjana belum menjamin kesuksesan dalam dirinya. Lulusan terbaik pula. Mungkin, karena Melodi terlalu berambisi menaklukkan Eropa dibandingkan mencari pekerjaan. Mungkin, cita-cita Melodi berbeda dari kebanyakan orang lain. Mungkin, Melodi tidak pernah memikirkan pekerjaan. Ia cukup meradang saat masuk ke kehidupan nyata yang keras. Ia berpikir, lulusan terbaik dari kampus terbaik pasti akan mudah mendapatkan pekerjaan di bidangnya.
“Buruan ke pasar! Siapa tahu kamu dapat ilham naik kapal nelayan dalam semalam sampai ke Paris!” seru Sarah sambil menarik lengan Melodi. Melodi tak bisa mengelak. Kekuatan Sarah teramat besar untuk dikalahnya oleh tubuh tinggi semampai dan berbobot tak sampai lima puluh kilogram itu.
Melodi meninggalkan Slow Restaurant dengan langkah gontai.
***
Melodi memacu sepeda motor butut dengan kencang. Pikirannya melayang-layang. Terpaan angin laut seakan-akan tak menyentuh dirinya yang galau. Kota Busan yang terlukis sebagai mahakarya megah negeri ini luput dari pandangannya. Melodi mengubah pola pikir. Biasanya, ia akan mengamati setiap gunung dari berbagai sudut. Biasanya, ia mengendarai kendaraan roda dua hadiah ulang tahun ke tujuh belas itu dengan pelan sekali. Tak ada yang enggan Melodi lihat di kota besar ketiga Korea ini. Setiap lekuk, bukit sampai gunung, perumahan bertingkat, gedung-gedung pencakar langit, laut membiru, ombak saling kejar, hela napas penghuni kota yang menjadi ukiran bernyawa dalam diri Melodi.
Melodi tidak menghiraukan jalanan licin. Gedung-gedung dilalui begitu saja. Pengendara lain diabaikan saja. Sepeda di sekitarnya motor lain tidak digubris. Klakson kendaraan roda empat bersahutan di tikungan. Melodi menghadang lampu merah, hampir saja menabrak pejalan kaki. Detak jantungnya berpacu dalam irama tidak bernada. Melodi lupa diri. Membayangkan dirinya berada di atas awan; dalam pesawat yang menerbangkannya ke negeri yang dihuni manusia bermata biru.
Pasar Jagalchi selalu ramai di pagi menjelang siang. Para ibu rumah tangga, koki restoran, koki hotel berbintang, koki kelas atas, koki kelas teri, semua berkumpul di sini. Ikan-ikan segar hasil tangkapan nelayan jadi rebutan dengan harga relatif murah di kota pelabuhan tersibuk dunia ini.
Melodi memarkirkan sepeda motor di tempat parkir biasa. Ia berlari seperti dalam mimpi. Di matanya tak ada deretan ikan segar. Dalam ingatannya, tak ada lautan manusia bermata sipit. Di catatan penting buku sakunya tak tercatat jenis ikan apa saja yang harus dibelinya. Ia terus berlari dengan pandangan kosong. Satu meter di depan langkahnya, seorang laki-laki muda juga sedang berlari kencang ke arahnya. Langkah laki-laki itu besar-besar. Raut wajahnya seputih mayat. Bibirnya mengeluarkan darah. Jas hitam sudah berubah warna kecokelatan. Kemeja putih sudah tidak lagi bersih. Sesekali laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke belakang. Tidak sampai satu meter di belakangnya, segerombolan orang mengejar dengan langkah tercepat mereka. Laki-laki itu ngos-ngosan. Anak rambutnya berantakan.
Detak jarum jam menghitung waktu maju. Melodi berpaling ke kiri dan ke kanan. Barangkali ada ikan yang menarik matanya. Sarah sudah memesan jenis ikan yang mesti dibawa pulang. Namun tidak satu pun jenis ikan itu diingatnya. Ia tidak menulis di catatan penting di sakunya. Ia tidak mau buku catatan itu dipenuhi oleh catatan lain selain rencana perjalanan ke negeri teromantis dunia.