Lastri keluar dari kamar. Perempuan itu tampil cantik dengan balutan kebaya panjang yang sangat cocok di tubuhnya. Khimarnya yang panjang dihiasinya dengan bros bunga melati. Dipolesnya wajah dengan make up natural yang sempat luntur itu.
“Wow! Istriku cantik sekali. Ayo, sayang kita pergi.” Aga mendekat ke arah Lastri yang masih mematung di depan pintu, dengan raut wajah yang masih kesal padanya. Aga yang sangat tidak peka, merangkul tangan Lastri, senyumnya begitu lebar, selebar jalanan Ibu kota.Saat di samping sepeda motor. Aga langsung memasangkan helm ke kepala Lastri. Tidak lupa menyatukan tali pengaman yang berada di dekat leher Lastri.
“Aman!” Aga mengacungkan jempolnya ke depan wajah istrinya. “Naik, Dek,” titah Aga menepuk jok belakang. Ditampilkan gigi putih rapinya.
“Iya!” Lastri duduk di belakang dengan rasa yang tak karuan. Ke-pasar saja perlu drama yang memakan waktu. Pikir Lastri. Padahal jikalau mereka berangkat sejak tadi.
Mungkin ... daster itu sudah menari di tubuh mungilnya.
Aga melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
“Pegangan, ya sayang.” Aga menyentuh ke-dua tangan Lastri dan mengalungkan di pinggangnya.
“Jangan ngebut-ngebut, Mas,” ujar Lastri. Akan tetapi, Aga tidak menggubrisnya. Makin kencang Aga membawa istrinya melaju ke-tempat tujuan.
“Loh-loh, Kamu salah. Ini bukan jalan menuju pasar, Mas. Tapi ini jalan rumah ibu-kan?” tanya Lastri tampak bingung. Perempuan itu baru menyadari setelah mereka sudah separuh perjalanan.
“Emm ... iya ... gini ... kita ke- rumah ibu dulu, ya. Soalnya ibu tadi ngabarin aku. Katanya, Amar dan kedua orang tuanya ingin bertamu. Mau melamar Amel,” jawab Aga sambil nyengir.
Lastri melihat ekspresi suaminya dari kaca spion. Tampak sangat mengesalkan.
Amel adalah adik kandung dari Aga.
“Bukannya kamu sudah janji buat belikan aku daster, dari kemarin loh, Mas.”
“Ya ... tapi masa kamu tega sama ibu. Kita-kan udah lama nggak ke sana. Pagi ini dia lagi butuh kita lo.”
“Tapi, Mas ini bukan tega atau nggak teganya. Ini masalah ....”
“Daster sekadar daster! Iya?” Suara Aga naik satu oktaf.
Bukan masalah daster saja, Mas. Tapi ini masalah janji kamu! Ingin rasanya Lastri berujar begitu. Namun, terus saja ia simpan semuanya dalam hati.
Lastri langsung membisu. Ia sudah lelah berdebat, karena pasti akan ada saja jawaban Aga. Sementara itu, semua yang ada di jalan terus saja menoleh ke arah mereka. Menonton perang dunia yang diselenggarakan di atas sepeda motor.