Lastri menghela napas panjang saat berada di depan pintu rumah Yuli lagi sekarang. Kenangan pahit yang dilakukan mertuanya itu benar-benar membekas dalam benaknya.
Sebenarnya dia tidak ingin masuk menemui mertua dan iparnya. Bukan karena membenci. Lebih kepada tidak mau berdebat lagi. Masih terngiang-ngiang di kepala perempuan itu bagaimana Yuli menuduhnya. Sudah membuat Aga berubah menjadi anak durhaka dan melawan orang tua.
“Harusnya aku melarang saja pernikahan kalian! Bila punya menantu susah diatur, membantah dan membuat suami sendiri jadi melawan pada ibunya, sendiri!” teriak Yuli pada saat Aga dan Lastri ingin mengontrak. “Mana ada istri baik-baik mau memisahkan anak dan ibu! Kamu juga, Ga. Cinta buta banget sama istri! Kayak kambing dicucuk hidungnya!” Yuli menunjuk-nunjuk ke wajah Aga. “Bodoh kamu! Nggak pintar cari istri!”
Aga hanya menunduk saat itu. Diam seribu bahasa. Memberi penjelasan pada Yuli pun tidak mampu. Apalagi membela Lastri di depan ibunya.
“Bu, maafkan kami. Kami hanya ingin mandiri,” ucap Lastri berusaha menahan diri untuk tidak emosi. Bukankah memang itu yang diajarkan oleh baginda nabi. Ia hanya mengamalkannya saja.
“Apa pun alasan kamu saya, nggak peduli! Lagi pula ada atau nggak ada kamu sama saja. Malah kalau ada bukannya mengurangi beban, tapi menambah beban! Tapi yang jadi masalahnya kamu sudah mencuci otak anak saya supaya menurut sama kamu!” tuduh Yuli.s
Ah! Rasanya ... tercabik-cabik hati Lastri. Mau menangis namun air matanya serasa sudah habis.
Tega sekali mertuanya mengatakan yang tidak benar. Itu sama saja fitnah. Bukankah fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Selama ini Lastri selalu menasihati suaminya agar berbakti pada ibunya. Karena itulah satu-satunya orang tua yang Aga miliki. Ayahnya sudah meninggal.
Tapi ibu mertuanya dengan tega menyakiti perasaannya dan menuduh tindakan yang sama sekali tidak dilakukannya. Sementara suaminya tidak dapat diandalkan pria itu lemah dan tak berdaya. Hanya menunduk di samping Lastri.
“Bawalah istrimu yang durhaka itu pergi dari sini, Ga. Asal kamu tahu pintu ini selalu terbuka untuk anak lelaki ibu, yaitu kamu. Entahlah untuk Lastri! Rasanya ibu tak sudi!” Yuli memalingkan wajahnya. Tanpa mau melihat wajah Lastri. Seperti keinginan anak menantunya untuk hidup mandiri adalah dosa besar yang sulit untuk diampuni.
“Assalamualaikum, Bu.”
Lastri tersadar dari lamunannya saat suaminya mengetuk pintu. Air matanya yang sudah mengalir di pipi segera dihapusnya. Mumpung suaminya tidak menyadari dirinya menangis karena mengingat perlakuan mertuanya.
“Waalaikumsalam. Tunggu sebentar!” teriak seseorang dari dalam. Sepertinya sedang membukakan pintu.
Jantung Lastri tiba-tiba saja berdetak tidak karuan. Mendengar suara itu. Suara yang telah lancang memfitnah dan mencaci makinya beberapa bulan lalu.
Lastri tiba-tiba saja beralih posisi ke belakang tubuh tegap dan tinggi Aga. Sang suami hanya menoleh ke arah Lastri dengan bingung. Akan tetapi Aga memilih untuk menutup mulutnya tidak menanyakan hal apa pun.
“Aga!” teriak Yuli, langsung memeluk anak lelakinya itu. Mungkin ... perempuan paruh baya itu sangat merindukan anaknya. Yang sudah lama tak berkunjung sejak kejadian pertengkaran hebat itu antara Lestari dan Yuli.
Walaupun yang menggebu-gebu adalah ibunya. Sementara istrinya hanya mendengarkan tanpa membalas ucapan jahat Yuli.
Dan, setelah Yuli menguraikan pelukannya. Mukanya langsung masam melihat kehadiran Lastri.
“Bu!” ucap Lastri ingin menyambut tangan Yuli. Namun segera ditepis perempuan itu.
“Bukannya ibu sudah bilang nggak usah bawa dia. Kenapa pakai segala diajak sih!” Yuli merengut. Memandang tajam ke arah Lastri.
“Maaf, Bu. Tapi Aga cuma pengen Lastri hadir di acara penting keluarga kita. Lastri-kan juga istri Aga, Bu,” jawab Aga hati-hati.
“Ya sudah lah terserah kamu! Ibu nggak peduli ada atau tanpa dia!” Yuli melengos masuk.
“Mas, apa sebaiknya aku pulang saja. Ibu sepertinya belum mau bertemu denganku,” ucap Lastri masih mematung di depan pintu. Dengan hati yang dilema.
“Jangan! Kamu tetap di sini saja menyaksikan acara lamaran Amel. Ayo ikut aku masuk.” Aga menggandeng tangan istrinya dengan senyum lebar.
***