Suami Pelit Bin Medit

Dara Apriliani
Chapter #11

Melarikan Diri (Kabur)

Enak saja ibu nggak terima!” bentak Yuli di ujung telepon. “Hanya karena sebuah gelang. Katamu! Itu gelang berlian Aga. Ibu nggak rela, ya uang gaji itu jatuh ke tangan Lastri. Itu uang ibu yang sudah bertahun-tahun bersama kamu. Itu hak ibu! Ibu rasa ... dua puluh lima itu sudah cukup buat anak kampung seperti dia. Beda dengan ibu yang hidup di kota, Gajih kamu yang empat juta itu saja tidak cukup buat sebulan!” teriak Yuli, telinga Aga sampai-sampai mendadak ingin pecah. Mendengarnya.

“Jadi selama ini uang Aga yang empat juta itu nggak cukup buat ibu?” tanya Aga menghela napas kasar. “ Padahal Aga sudah bela-belain nggak jadi mencicil rumah buat masa depan Aga dan Lastri. Hanya karena kehidupan ibu yang serba hedonis itu.”

“Pokoknya ibu tetap nggak terima kalau kamu ngasih semua gaji kamu ke-Lastri! Ibu nggak akan mengakui kamu sebagai anak! Dan ibu jamin hidupmu bakal sengsara!” Sumpah serapah dikeluarkan Yuli kepada Aga. Agar anaknya itu takut dan mengurungkan niatnya itu.

Prang!

Tiba-tiba saja, bunyi pecahan cangkir membuat Aga tersentak. Bunyi itu berasal dari pintu luar kamar mereka.

Aga berbalik dan mendapati Lastri dengan tatapan tajam dan air mata yang berderai-derai di pipi.

Jangan-jangan Lastri sudah sejak tadi berada di depan pintu, mendengar percakapan dia dan ibunya. Pikirnya. Aga buru-buru mematikan sambungan telepon itu dan mendekati Lastri yang diam mematung.

“Jadi selama ini kamu banyak berbohong sama aku, Mas. Iya?” tanya Lastri menekankan ucapannya. “Kamu punya gaji tinggi dan aku baru tahu sekarang nominalnya dan semuanya kamu berikan sama ibu aku hanya dapat recehan dari sisa uang gajimu, Mas. Benar?!” Teriak Lastri merasa berkhianat. Baru masalah satu ini saja Lastri membara-bara , apalagi bila wanita itu tahu Aga sudah makan dan jalan bersama wanita lain. Mungkin ... Lastri akan mengatakan goodbye. Dan bersedia meminta diceraikan.

“Lastri bukan begitu dengarkan aku dulu—“ mencoba meraih tangan istrinya. Namun langsung ditepis perempuan itu.

“Sudah cukup. Mas. Aku memang orang desa. Pantas sekali kamu bodohi. Kalau kamu memang tidak ada niatan membelikanku rumah nggak masalah. Namun yang aku sesalkan kenapa harus mencoreng pernikahan ini dengan banyak dusta.” Sesak dada Lastri sekarang. “Aku rela berbagi uang dengan ibumu. Tapi kenapa semuanya kamu serahkan untuk ibumu! Mana nafkahku, Mas? Bukankah kamu tahu hukum agama, Mas. Ada hak istri di keringatnya suami.” Air mata Lastri begitu deras mengalir. Malam ini seakan Allah menunjukkan satu kezaliman yang tak pernah ia ketahui. Sebelumnya. “Pulangkan aku ke-rumah orang tuaku, Mas.”

Tubuh Aga begitu lemas, saat Lastri mengatakan yang tak pernah mau ia dengarkan selama ini. Lastri minta pulang dengan derai air mata dan hati tersayat-sayat.

“Tidak Lastri, aku tidak akan mengantarmu dalam keadaan begini!”

“Kalau begitu izinkan aku pulang sendiri ke-rumah orang tuaku!”

“Jangan Lastri! Jangan nekat!” teriak Aga. Menggenggam tangan Lastri ketika istrinya itu hendak menuju lemari pakaian.

“Lepas, Mas!” Lastri menghempaskan tangan suaminya dan berjalan mengambil tas yang berada di atas lemari. Kemudian menghempaskan pintu lemari, hingga terbuka. Ditarik-tariknya pakaiannya asal.

Lihat selengkapnya