Setelah menjemput kedua orang tuanya, Rafli gegas melajukan mobilnya menuju rumah sakit yang ada di Jakarta.
Rahmah terlihat sangat gelisah dari tadi. Perempuan itu sangat khawatir dengan keadaan anak bungsunya.
“Ibu sama bapak tidur saja dulu,” ucap Rafli sedikit mengintip di balik cermin. Damar dan Rahmah yang sedang berada di belakang. Sengaja pria paruh baya itu ingin menemani istrinya. “Rafli tahu kalian pasti belum tidur-kan sejak tadi?”
“Iya, Nak. Nanti kalau sudah mengantuk tertidur sendiri,” jawab Rahmah. “Ibu masih ke pikiran adikmu.”
“Bapak juga. Gimana, ya. Kondisi Lastri sekarang? Kenapa sampai pergi tanpa suaminya malam-malam begini?” tanya Damar dengan muka cemas.
“Sudah bapak hubungi Aga?”
“Sudah. Tapi dari tadi nomornya nggak aktif.” Damar menggenggam kedua tangannya. Berusaha menutupi kecemasan.
“Apa iya mereka bertengkar? Dan Lastri kabur dari rumah?” Rafli menebak sesekali mengarahkan tangannya ke dagu. Tanda berpikir keras.
“Ah, ibu rasa nggak mungkin. Selama ini-kan rumah tangga mereka adem ayem. Ibu lihat Aga juga baik, mertua Lastri apalagi. Makanya ibu merestui.”
“Tapi, Bu. Selama ini mereka nggak pernah ke desa. Giliran Rafli yang mengajak kalian. Lastri selalu beralasan. Macam-macam. Katanya takut ibu sama bapak ke sana kecapean-lah, terus ... nggak enak sama aku-lah yang sibuk kerja, takut ganggu katanya.” Alis Rafli berkerut. “Padahal aku yang bersedia nganterin ibu sama bapak ke sana.”
“Ibu sih percaya saja. Lastri takut bapak sama ibu kecapean. Sama dia nggak mau ngerepotin kamu sebagai kakaknya.”
“Kok bapak juga kurang yakin, ya, Bu.” Kini Damar yang buka suara. “Aneh aja, Lastri pergi sendirian malam-malam. Si Aga apa nggak khawatir gitu loh.”
“Nah, setuju, Pak. Rafli juga curiga.” Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu mengacungkan jempol ke arah Damar . “Kemungkinan mereka sedang bertengkar dan Lastri memilih kabur dari rumah.”
“Sudah-sudah, jangan berpikir macam-macam dulu,” protes Rahmah.
“Ibu sendiri-kan tahu si Lastri putri kita itu anaknya tertutup sekali.” Damar memancing istrinya lagi.
“Bapak ini, bukannya menenangkan ibu malah tambah bikin khawatir.” Rahmah merengut tak suka dengan bercandaan Damar dan Rafli sejak tadi.
“Maaf, ya, Bu.” Damar merangkul Rahmah yang masih saja merengut wajahnya.
“Iya, Bu. Rafli minta maaf juga, ya.” Rafli menoleh ke belakang dan tersenyum semanis mungkin agar di maafkan oleh Rahmah.
“Iya, ibu maafkan tapi jangan diulangi lagi. Ibu nggak suka bercandaan kalian di saat genting seperti ini.”
“Siap, Bu,” jawab Rafli dan Damar serempak.