Bagi pasangan yang telah menikah, anak adalah anugerah. Kehadirannya selalu dinantikan karena mampu membawa kebahagiaan untuk ayah ibunya. Namun, berbeda dengan Melisa. Justru kehamilannya adalah awal dari malapetaka.
Sejak pagi, Melisa terus uring-uringan. Hormon kehamilan telah membuat moodnya berubah-ubah. Hingga matahari tepat berada di tengah, belum ada satu suap pun makanan yang masuk ke perutnya. Rujak yang dibelinya pada penjual keliling tadi pagi juga belum tersentuh, tapi dia surah berkali-kali keluar masuk WC.
Morning sickness. Kehamilannya sudah memasuki trisemester kedua, tapi ritual mual muntah pagi hari belum juga mereda. Entah kapan fase itu akan berakhir.
Setelah membersihkan sisa muntahan pada mulut, dia menatap bayangannya di cermin. Diusapnya pelan, sambil memandangi setiap inci dengan lekat.
Dulu, wajah itu selalu memancarkan senyum dan tawa. Kepolosannya mampu memikat banyak pria di sekeliling. Tidak pernah sekali pun air mata menggenang di pelupuknya. Selalu terpancar rona bahagia.
Namun, semuanya berbanding terbalik sekarang. Tak ada lagi tawa, hanya gurat kesedihan yang tampak. Bahkan banyak bekas lebam di sana. Matanya kini berembun. Ada luka yang coba dia sembunyikan.
Melisa menghapus air mata dengan punggung tangannya. "Aku tidak boleh menyerah," lirihnya.
Dengan langkah gontai, dia menuju dapur. Perutnya yang keroncongan meminta untuk diisi. Dibukanya tudung saji pada meja. Hanya tersisa beberapa potong kue.
Melisa mengernyit. Sepertinya terjadi sesuatu yang tidak beres. Biasanya jam segini, ibu mertuanya sudah sibuk di dapur. Dia mencomot sebiji kue, lalu menyisiri rumah, mencari keberadaan sang mertua.
"Bu … Ibu!" panggilnya. Melisa memeriksa ke kamar mertuanya. Tidak ada siapa-siapa di sana. Kemana semua orang-orang pergi?
Melisa kembali ke dapur. Sudah lama rasanya tidak memasak makanan kesukaan sang suami. Semenjak dia sering mengeluh sakit, ibu mertua yang selalu melakukan pekerjaan tersebut.
Meskipun kondisinya sedang tidak fit, tapi dia sangat antusias untuk memberikan surprise kepada orang rumah. Ada senyum semringah yang terlukis pada wajahnya, saat berhasil menyelesaikan masakannya.
Dia memeriksa kembali hidangan yang tersaji. Memastikan tak ada satu pun yang kurang. Dia tidak ingin suaminya marah lagi karena hal sepele.
"Semoga Kak Rais suka," lirihnya sembari mengusap peluh pada kening.
Wanita berwajah oval tersebut mengambil rujak cingur di dalam kulkas. Kudapan itu dia beli pada pedagang keliling tadi pagi. Dicicipi sedikit, memastikan kalau rasanya masih enak, kemudian beranjak ke kamar. Dia ingin beristirahat sambil menikmati makanan tersebut sebelum suaminya pulang.
Baru saja menyelesaikan suapan terakhir, tapi rasa mual langsung menyerang. Melisa berlari ke toilet. Makanan yang baru saja tandas, kembali dimuntahkannya. Dia memijat pelipisnya, seperti sedang menahan sakit.
Sudah menjadi ritual acap kali Melisa selesai makan. Seketika itu pula makanan yang masuk langsung dimuntahkan. Dia sendiri heran. Padahal kehamilannya sudah memasuki trisemester kedua.
Wanita itu beralih ke ranjang. Bersandar pada bantal. Melisa menyapukan minyak kayu putih pada tengkuk, leher, dan hidungnya. Satu-satunya cara yang sering dilakukan untuk merasa jauh lebih baik.
Nyeri pada kakinya kembali Melisa rasakan. Disingkapnya daster bermotif bunga lili tersebut hingga ke lutut. Luka pada tulang betisnya masih membiru akibat tendangan dari sang suami beberapa hari yang lalu.
Embun yang sedari tadi tertahan di pelupuk luruh sudah. Melisa merasakan perih yang amat dalam. Dia menangis tersedu-sedu. Tidak pernah sekali pun terlintas dalam benak, bahwa pria yang dicintainya tega berbuat demikian. Pandangannya kini kosong, menatap ke arah luar. Seakan-akan menangisi takdir yang digariskan Tuhan untuknya.
Suara motor yang baru saja memasuki garasi membuyarkan lamunannya. Melisa menghapus air matanya. Dia tidak ingin Rais mengetahui kalau dirinya baru saja menangis. Hal itu akan membuat sang suami semakin marah. Sudah cukup lelah rasanya jika harus menerima pukulan hanya karena masalah sepele.