Rais menilik wanita yang terkulai lemas di hadapannya. Ada darah yang mengalir pada kening sang istri.
"Kita impas," cibirnya.
Dihampirinya Melisa yang masih terkulai lemas. Dia mengedikkan bahu.
"Hey, bangun!" seru Rais. Dia membangunkan Melisa dengan kakinya.
Pria bertubuh atletis itu memastikan kondisi wanita yang baru saja dihajarnya. Akan tetapi, tidak ada respon. Dia mengusap kasar rambutnya, lalu berjongkok di sisi sang istri.
"Oh, shit! Ini benar-benar menyebalkan."
Pria itu mengangkat kepala Melisa.
"Mel, Melisa …," panggilnya sembari menepuk-nepuk pipi wanita yang ada dalam dekapannya.
Berulang kali memanggil dengan nama yang sama, tapi tetap saja tak ada jawaban. Rais mulai panik. Mukanya pusat pasi. Dia mulai gelisah. Segala pikiran buruk muncul dalam benaknya.
Apakah istrinya mati? Kalau wanita itu mati, siapa yang akan bertanggung jawab? Dia akan jadi tersangka tunggal. Ya, jeruji besi menantinya kalau sampai terjadi sesuatu terhadap Melisa.
"Ti-tidak … dia tidak boleh mati. Aku tidak ingin masuk penjara," ujarnya menggeleng.
Rais memegang urat nadi pada pergelangan tangan dan leher sang istri, lalu meletakkan telunjuknya di hidung Melisa.
"Dia masih hidup," lirihnya.
Dia menggendong istrinya ke ranjang. Meletakkan dengan sangat hati-hati. Diraihnya tisu pada nakas, lalu mengusap peluh pada dahi sang istri.
Dengan tangan bergetar, Rais Membuka satu per satu laci, mencari sesuatu dengan tergesa-gesa. Dia mendengkus kesal saat pencariannya tidak membuahkan hasil.
Rais mengepalkan tangan dan memukul meja. "Di mana kotak obat itu?" gerutunya.
Pria itu tampak gusar. Tak hentinya melirik ke arah Melisa yang masih tidak sadarkan diri. Berkali-kali Rais memijat pelipis seperti sedang kebingungan.
Kalau sampai terjadi sesuatu pada Melisa, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Sudah pasti dia kembali menjadi buah bibir dari teman kantornya. Pernikahnnya baru beberpa bulan, tetapi dia sudah kehilangan istri. Pasti akan menjadi tanda tanya besar, mengingat tubuh Melisa dipenuhi luka lebam.