Suami Psikopat

Rizka W. A
Chapter #3

Bab 3

Sore itu adalah hari terakhir Melisa menjalani Praktek Kerja Industri di perusahaan tempat Rais bekerja.

"Dek, kamu langsung pulang ke Bontang, ya, sore ini?" tanya Rais saat istirahat jam makan siang.

"Iya, Kak. Aku tinggal nunggu Pak Biyon menandatangani laporan surat magangku," jawab Melisa sambil merapikan semua barang-barangnya.

"Udah beli tiket bus belum?"

"Belum, Kak. Nanti aja pas di terminal."

"Aku pasti bakal jarang ketemu kamu lagi," lirih. Matanya masih enggan untuk beralih dari wanita yang berdiri di dekatnya.

Melisa melirik dan tersenyum kepada Rais. "Kakak kan bisa jalan-jalan ke Bontang kalau weekend."

Keduanya menatap dalam waktu yang cukup lama. Larut dalam pikiran masing-masing. Ada gurat sedih di wajah keduanya saat harus berpisah. Tiga bulan menjalani praktek kerja industri di perusahaan tempat Rais bekerja, membuat benih cinta tumbuh di hati mereka.

Melisa, remaja periang dan gampang berbaur mampu menarik perhatian Rais kala itu. Jika mengalami kesulitan di kantor, pria itu yang selalu siao membantunya. Menjelaskan kepadanya ilmu Multimedia secara detail.

Tidak hanya bertemu di tempat PRAKERIN, mereka juga sering membuat janji di luar kantor. Rais sering mengantar Melisa pulang ke kost-an. Memberi perhatian-perhatian kecil pada remaja berusia delapan belas tahun tersebut layaknya seorang kekasih.

Gayung bersambut. Melisa yang tidak pernah mendapat perlakuan khusus dari lawan jenis merasa senang. Apalagi kondisinya jauh dari keluarga dan para sahabat. Ada benih cinta yang tumbuh di hatinya. Kehadiran Rais membuatnya tidak lagi merasa kesepian. Dia bahkan tidak segan memuji pria itu secara terang-terangan.

"Kak Rais. Aku senang banget, dapat teman di sini. Kirain bakal boring banget, magang di kantor. Ternyata jauh dari dugaanku," ucap Melisa.

"Sans, karyawan di sini tuh baik-baik. Kamu gak usah khawatir. Pokoknya, kalau ada yang kamu nggak ngerti, kamu nggak usah sungkan," terang Rais.

Di mata Melisa, Rais adalah sosok yang luar biasa. Dia menganggap pria itu sebagai kakak yang melindungi adik perempuannya. Juga sebagai teman dan pendengar yang baik.

Tak ada sedikit pun rasa curiga dalam benak gadis berparas ayu tersebut. Yang dia tahu, Rais adalah pria idaman. Dia bahkan sering berkhayal, suatu saat bisa hidup bersama pria yang dikaguminya. Benar saja, dua bulan sejak pertemuan mereka, keduanya resmi berpacaran.

***

Melisa mulai gusar. Berulang kali melirik putaran jarum pada pergelangan tangannya. Namun, Pak Biyon belum juga menampakkan batang hidungnya.

Sebelum jam enam sore dia harus segera sampai di terminal. Kalau tidak, dia akan ketinggalan bus yang hanya melayani rute dua kali dalam sehari--jam enam pagi dan sore. Melisa tidak ingin ketinggalan acara keluarga yang akan diadakan tiga hari lagi di rumahnya.

Berulang kali Rais mengingatkan agar tetap tenang, tapi tetap saja gadis itu tak mampu menyembunyikan perasaan gusarnya. 

"Kak, ini udah jam lima, sudah waktunya pulang."

Lihat selengkapnya