Rais dan Melisa membisu. Larut dalam pikiran masing-masing. Apa yang baru saja terjadi membuat mereka shock. Untuk sesaat tatapan mereka bertemu, kemudian kembali saling melemparkan pandangan ke arah yang berbeda. Hanya terdengar deru hujan dan yang merembus pelan. Membuat keduanya menjadi sangat canggung.
Melisa meringkuk di samping nakas. Membenamkan wajahnya pada kedua tangan yang memeluk lutut. Dia tidak mampu menahan getir dan air mata yang sudah sejak tadi memaksa keluar.
Sedangkan Rais, dia terlihat sangat frustasi. Berkali-kali merutuki diri, mengusap rambutnya kasar, dan membenturkan kepala pada tangan yang mengepal. Seakan-akan menyesali semua perbuatannya beberapa jam yang lalu.
Dering telepon memecah kesunyian. Melisa beringsut mencari sumber suara. Cukup lama dia menatap layar ponsel. My Mom--begitu nama yang tertera. Hingga deringnya berhenti, pandangannya masih tertuju pada benda pipih tersebut.
Hampir saja benda tersebut terjatuh dari tangannya saat kembali berbunyi. Dengan tangan bergetar, Melisa mengusap layar yang bertanda hijau, kemudian mengucap salam.
Bahunya bergetar hebat berusaha menyembunyikan kesedihannya. Dia menutup mulut, agar suara tangisnya tidak terdengar.
"Dari tadi Ibu menunggu kabar kamu, Nak. Kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya ibunya.
Melisa menggigit bibit bawah. Mencoba menahan tangis. Dia tidak ingin ibunya mencium sesuatu yang mencurigakan. Suara di seberang telepon, kembali memanggil namanya.
"Mel … Melisa, kok diam aja. Ibu khawatir. Perasaan Ibu nggak enak banget. Kepikiran kamu terus dari tadi," seloroh ibunya.
Bahkan ibunya pun bisa merasakan firasat buruk itu. Apa yang telah mereka lakukan sungguh di luar kendali. Dia telah menghianati kepercayaan sang ibu.
"Nggak apa-apa, Bu. Aku nggak jadi pulang malam ini. Ketinggalan bus."
"Suara kamu kok gitu, Nak? Kamu baik-baik aja, 'kan?" ibunya kembali bertanya.
"Iya, Bu, aku baik-baik saja. Mungkin sinyalnya, Bu. Di sini hujan deras dari tadi sore. Makanya telat ke terminal tadi," terang Melisa.
"Syukurlah kalau gitu. Ya sudah kamu istirahat aja. Jangan tidur terlalu malam. Besok kabari Ibu kalau sudah berangkat," titah ibunya.
"Baik, Bu," tutup Melisa kemudian mengucap salam.
Melisa menangis tersedu-sedu. Dia terus saja memukul kepalanya menggunakan ujung ponsel.
"Maafkan aku, Bu … maafkan aku." Kedua bahunya berguncang hebat.
Rais tidak tahan melihat wanita di hadapannya tampak begitu menyedihkan. Dia pun berjalan menghampiri kekasihnya.
"Mel, tolong maafkan aku! Aku …." Rais memegangi kedua lengan Melisa, tetapi ditepis oleh gadis itu.
Rais yang menerima perlakuan tersebut merasa sakit hati. Layaknya luka yang tersiram air garam. Perih. Dia mencoba mendekap Melisa. Berusaha menenangkan wanita yang dia cintai.
Melisa menangis dalam dekapan Rais. Merutuki diri tanpa henti. Hidupnya benar-benar sudah hancur sekarang. Kehormatan yang selama ini ia jaga telah terenggut.
Gadis itu benar-benar kacau. Tangan kanannya mencengkeram baju Rais, sedangkan tangan yang lain memukuli dada bidangnya. Meluapkan segala kekesalan atas apa yang telah terjadi.
"Kak Rais tega sama aku. Jahat. Aku benci sama Kak Rais," ucapnya terus memukuli dada bidang pria itu.
Rais tidak melawan. Dia membiarkan sikap wanita itu hingga pukulannya melemah. Dia sadar akan kesalahannya.
Melisa benar. Dia laki-laki yang tak bermoral. Tega menodai seorang gadis, memanfaatkan situasi, dan menorehkan luka yang amat dalam pada kekasihnya.
Padahal Rais selalu berjanji akan selalu melindunginya. Tetapi, dia sendiri yang menghancurkan masa depan Melisa.