Suami Psikopat

Rizka W. A
Chapter #5

BAB 5

Rais yang baru saja selesai mandi tersenyum melihat pakaiannya sudah siap di ranjang. Betapa terkejutnya dia, saat akan memakai baju. mendapati Melisa terbaring di sisi ranjang.

"Mel, Melisa …," panggilnya.

Melisa itu tidak menjawab. Tidak ada respon meskipun pipinya sudah ditepuk berkali-kali. Rais mulai khawatir saat melihat ada darah yang mengalir pada betis sang istri. Diangkatnya wanita itu ke ranjang, kemudian bergegas memakai baju.

Tidak ingin meminta bantuan tetangga, Rais memilih menelpon taxi. Dia tidak ingin orang-orang di sekitar rumahnya tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah tangganya.

Apalagi sekarang dia hanya berdua di rumah. Wajah Melisa yang masih lebam akan banyak menimbulkan kecurigaan. Belum lagi desas-desus yang dia dengar dari ibunya, kalau tetangga sekitar sering mendengar tangisan seorang wanita.

Beberapa menit kemudian, taxi yang di pesan Rais sudah sampai. Dia meminta tolong kepada sang sopir untuk membantunya menggotong sang istri.

Benar dugaannya. Ibu-ibu kompleks yang sedang membeli sayur pada pedagang keliling menatap tajam ke arahnya. Saling berbisik satu sama lain. Entah apa yang mereka bicarakan. Rais tidak mau ambil pusing. Yang paling penting sekarang adalah kondisi Melisa.

"Dasar ibu-ibu kurang kerjaan, bisanya cuma gosip aja. Betah banget makan bangkai saudara sendiri," gerutu Rais.

Mobil yang mereka tumpangi kini melaju ke arah rumah sakit terdekat. Berkali-kali Rais mengingatkan sang sopir untuk menambah kecepatan agar bisa segera sampai.

Dengan posisi memangku kepala sang istri, Rais sesekali memastikan denyut nadi Melisa. Dia semakin gusar saat mobil tersebut berjalan merayap karena lampu merah. Rasanya putaran jam juga ikut melambat.

"Pak, tolong, cepat. Istri saya tidak sadarkan diri," pintanya pada pria yang tengah mengemudi.

Pak Sopir segera menancap gas setelah lampu lalu lintas berubah warna. Dia seolah paham betul apa yang sedang dirasakan penumpangnya.

Mereka akhirnya sampai lima menit lebih cepat dari perkiraan. Sang sopir segera membukakan pintu, kemudian berlari menuju ruang UGD menemui perawat jaga.

"Sus, tolong istri saya. Dia sedang hamil dan tidak sadarkan diri," ucapnya saat melihat perawat datang dengan bed sorong.

Beberapa suster sigap melayani Melisa. Dengan sedikit berlari, mereka lalu membawanya ke ruang IGD.

"Maaf, Pak, selain petugas dilarang masuk. Silahkan tunggu di luar. Kami akan menangani pasien dengan baik," ucap suster tersebut, menutup pintu ruang perawatan khusus.

Rais berjalan mondar-mandir di depan ruang IGD. Berusaha mengintip dibalik jendela, tapi tetap saja dia tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dia lalu mengabari ibunya, kondisi Melisa saat ini.

Pria itu mengusap kepalanya dengan kasar. Bersandar pada kursi pengunjung. Sudah lima belas menit berlalu, tapi pintu yang ada di hadapannya masih tertutup rapat.

Apa yang sedang terjadi di dalam? Bagaimana kondisi Melisa? Apakah dia akan selamat? Ya, bayi. Bagaimana dengan bayi mereka?

Mata Rais berkaca-kaca. Apakah ini jawaban atas doanya. Berkali-kali dia menolak kehadiran anak itu. Dia tidak ingin aibnya sampai tercium oleh orang-orang terdekatnya. Baik tetangga, maupun teman kantor.

Kalau benar itu keinginannya, seharusnya dia senang sekarang. Dia tidak harus mengotori tangannnya dengan membunuh darah dagingnya sendiri.

Lihat selengkapnya