Suami Psikopat

Rizka W. A
Chapter #7

Maafkan Melisa, Ma, Pa ....

Kedua orang tua Melisa tercengang mendengar penjelasan dari guru BK. Mereka tidak pernah menyangka putri bungsunya akan bertindak serendah itu. Selama ini, Melisa tidak pernah bergaul dengan orang yang salah. Dia tahu betul bagaimana karakter anaknya. 

Sesaat kemudian, seorang murid mengetuk pintu disertai salam. Dia seperti tidak asing dengan suara tersebut. Sontak Bu Maryam dan Pak Imran menoleh.

Melisa membuka pintu dengan sangat pelan sambil mengucap salam. Orang yang hadir dalam ruangan tersebut menoleh ke arahnya. Dengan pandangan tertunduk, dia berjalan mendekati meja milik guru BK.

Pak Imran yang dari tadi menenangkan istrinya menghampiri Melisa dengan geram. Matanya nyalang menatap gadis itu, kemudian memberinya satu tamparan keras.

"Dasar anak tidak tahu diri. Bikin malu keluarga," geram Pak Imran.

Melisa memegangi pipinya. Hanya bisa pasrah dan menangis tersedu-sedu. Tak berani menatap wajah sang papa. Ingin rasanya memberi penjelasan, tapi dia yakin, papanya tidak akan mendengarkan alasan apa pun. Hal itu hanya menambah amarah.

Bu Lita menghampiri Melisa. Mengusap lengannya dan memberinya kekuatan. Meskipun muridnya bersalah, tapi dia tidak ingin Melisa merasa sendiri. Setidaknya dengan sedikit dukunga, gadis itu tidak akan berbuat hal nekat.

Melisa menangis dalam pelukan gurunya. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar merasa sedih. Dia telah menghukum kedua orang tuanya. Menodai kepercayaan dan memberikannya aib.

"Pulanglah, kita bicarakan semuanya di rumah," lirih sang Mama.

Wanita paruh baya itu memegangi kursi lalu beranjak. Karena masih syok dengan berita yang baru saja didengarnya, dia kembali terkulai.

Sontak Melisa meraih lengan sang mama untuk membantunya berdiri. Namun, langsung ditepis oleh wanita itu.

"Tidak usah pedulikan Mama," lirihnya.

"Tapi, Ma …."

"Kalau kamu sayang sama Mama, kamu tidak mungkin melakukan hal serendah itu," ucapnya beranjak.

Pasangan suami istri tersebut barlalu tanpa pamit kepada Bu Lita. Pak Imran menuntun Bu Maryam yang masih saja syok. Melisa hanya membungkuk ke arah gurunya yang dibalas dengan seulas senyum.

Di luar ruangan beberapa murid tengah berdiri untuk mencuri dengar. Melisa terperanjat saat semua menatapnya dengan pandangan entah. Sontak gadis itu tertunduk malu.

Seketika jantung Melisa berdetak cepat. Apakah teman-temannya mendengar sesuatu? Perasaan khawatir mulai menyelimuti. Dia tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika berita kehamilannya menyebar. Pasti dia akan menjadi topik perbincangan seantero sekolah.

Tak ingin menjadi sorotan, Melisa mempercepat langkahnya menuju parkiran. Avanza itu lalu membawa mereka meninggalkan area sekolah. Suasana sangat hening, tidak ada percakapan. Padahal biasanya mereka selalu heboh dan saling bertukar cerita. 

Sesekali Melisa melirik sang papa dari balik spion. Ada rasa penyesalan yang amat dalam ketika memandangi wajah tua itu. Ah, andai saja dia bisa menguasai diri saat itu. Andai saja dia bisa menolak keinginan Rais, mungkin sekarang dia tidak akan ada diposisi yang sulit.

Melisa teringat sesuatu. Ya, dia belum mengabari Rais tentang kehamilannya. Apa yang harus ia katakan? Apakah pria itu akan bertanggung jawab dan menerima kondisinya? Atau mungkin …. Gadis itu menggeleng. Wajahnya berubah gusar. Seperti sedang memikirkan banyak hal.

Mobil yang mereka tumpangi pun memasuki ke halaman rumah bergaya minimalis. Dia memang sengaja memilih konsep itu. Padahal bangunan rumahnya terbilang sangat luas. Tetapi, wanita pecinta bunga itu lebih memilih desain yang sederhana.

Lihat selengkapnya