Hujan masih turun dengan deras di luar jendela kantor, menciptakan irama monoton yang menambah kerisauan dalam hati Rangga. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di hadapannya Siska masih duduk, menatapnya dengan penuh perhatian. Setelah kejadian sore tadi, Rangga tidak bisa lagi mengabaikan sinyal yang terus dikirimkan oleh Siska.
Rangga mencoba fokus pada dokumen di layar laptopnya, tetapi pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ada perasaan bersalah yang menggerogoti dirinya setiap kali ia membayangkan wajah istrinya, Dewi, yang selalu sabar menunggunya pulang. Di sisi lain, ada sesuatu tentang Siska yang mengguncang egonya — sebuah rasa yang jarang ia rasakan lagi setelah bertahun-tahun menjalani rutinitas pernikahan.
“Pak Rangga,” suara lembut Siska memecah keheningan, “Bapak kelihatan lelah. Saya bisa bantu apa saja, Bapak tinggal bilang.”
Rangga menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Siska tidak hanya menawarkan bantuan pekerjaan, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih rumit. Ia menatap Siska, mencoba menemukan alasan untuk menghentikan semua ini. Tetapi setiap kata yang terlintas di pikirannya terasa lemah, tidak cukup untuk mematahkan magnet yang memikatnya.
“Siska, saya... sebenarnya tidak enak kalau kamu harus begini terus-terusan. Kamu juga harus istirahat,” kata Rangga akhirnya, mencoba terdengar tegas. Namun, suaranya justru terdengar goyah.