Malam itu, Dewi tidak bisa tidur. Pesan-pesan dan bukti yang ia temukan beberapa hari terakhir terus bermain di kepalanya. Hatinya sakit, seolah ada pisau yang mengiris pelan-pelan setiap kali ia membayangkan Rangga bersama Siska. Namun, ia tahu bahwa emosinya harus ditahan demi anak-anak yang masih membutuhkan sosok ayah dalam hidup mereka.
Pagi harinya, Dewi memutuskan untuk berbicara dengan Rangga. Namun, bukan konfrontasi langsung yang ia pilih. Ia ingin mendengar pengakuan Rangga sendiri. Saat sarapan, Dewi mencoba membuka percakapan dengan nada yang tenang.
“Mas, belakangan ini aku merasa kita jarang punya waktu bersama,” katanya sambil menuangkan teh untuk Rangga. “Apa pekerjaan di kantor semakin berat?”
Rangga tampak terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi dengan cepat ia memasang senyumnya. “Iya, banyak proyek baru yang butuh perhatian ekstra. Tapi aku usahakan untuk tetap ada waktu buat kamu dan anak-anak.”
Dewi hanya mengangguk, meskipun hatinya mencelos mendengar jawaban Rangga yang terdengar seperti kebohongan. Ia menelan rasa pahit itu dalam diam.
Beberapa hari kemudian, Dewi akhirnya mendapatkan bukti tak terbantahkan. Ia menemukan foto-foto Rangga dan Siska yang diambil di sebuah restoran, berdua, dengan sikap yang jelas menunjukkan lebih dari sekadar hubungan profesional. Foto itu dikirimkan oleh salah satu teman kantornya yang merasa kasihan pada Dewi.