Hari-hari berlalu, dan meskipun Dewi mulai menemukan ritme baru dalam hidupnya, anak-anaknya, Ardi dan Nisa, mulai menunjukkan tanda-tanda kehilangan. Kerinduan mereka terhadap Rangga semakin nyata dalam keseharian. Dewi berusaha keras untuk mengisi kekosongan itu, tetapi ia tahu bahwa dirinya tidak bisa sepenuhnya menggantikan peran seorang ayah.
Suatu malam, ketika mereka sedang makan malam bersama, Ardi tiba-tiba bertanya, “Bu, kenapa Ayah tidak pernah pulang lagi? Apa Ayah tidak sayang sama kita?”
Pertanyaan itu membuat Dewi terdiam. Ia menatap mata polos anaknya yang penuh harapan. Hatinya terasa seperti diremas, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan anak-anaknya merasa ditinggalkan.
“Ayah kalian sibuk bekerja, Sayang,” jawab Dewi dengan suara lembut, meski ia tahu bahwa jawaban itu jauh dari kebenaran. “Tapi Ayah tetap sayang sama kalian.”
Nisa, yang lebih kecil, ikut bersuara. “Aku kangen Ayah. Kapan Ayah bisa pulang?”
Dewi berusaha tersenyum, meskipun air mata hampir menetes di pipinya. “Ibu janji, kalau Ayah sudah selesai dengan pekerjaannya, kita semua bisa kumpul lagi, ya? Sekarang, kalian makan dulu biar cepat besar.”