Hari-hari Rangga bersama Siska yang awalnya terasa seperti pelarian dari kenyataan mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit. Perlahan, Siska mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya — sisi yang penuh tuntutan dan kontrol. Di balik senyumnya yang manis, Siska mulai memanipulasi kehidupan Rangga untuk memenuhi keinginannya.
Suatu pagi, saat Rangga sedang bersiap untuk pergi ke kantor, Siska menghampirinya dengan wajah yang terlihat kesal. “Mas, aku rasa kita perlu membicarakan sesuatu,” katanya tanpa basa-basi. Dia tak pernah lagi menyebut dirinya 'saya' dan memanggil 'Pak Rangga'.
Rangga menghela napas. Ia tahu bahwa ketika Siska berkata seperti itu, biasanya ada masalah yang harus ia selesaikan. “Apa lagi sekarang, Siska?” tanyanya sambil mengancingkan kemejanya.
“Aku merasa kamu tidak sepenuhnya ada di sini. Kamu masih terlalu memikirkan keluargamu. Kalau kamu sudah memilih aku, seharusnya aku yang jadi prioritasmu,” Siska berkata dengan nada tajam.
Rangga terkejut. “Siska, aku tidak bisa begitu saja melupakan anak-anakku. Mereka tetap bagian dari hidupku.”
“Bagian dari hidupmu? Tapi aku di sini sekarang, Mas! Kalau kamu terus seperti ini, aku merasa seperti pilihan kedua. Aku tidak mau hidup seperti itu,” balas Siska sambil menyilangkan tangan di dadanya.