Siska duduk di apartemennya, menatap ponselnya dengan penuh amarah. Berita bahwa Rangga telah menghabiskan malam makan malam bersama Dewi dan anak-anaknya sampai ke telinganya. Informasi itu ia dapatkan dari salah satu teman kantornya yang tanpa sengaja melihat Rangga masuk ke rumah Dewi.
“Jadi, dia pikir bisa kembali ke Dewi begitu saja?” gumam Siska dengan nada tajam.
Ia meremas ponselnya dengan tangan yang gemetar. Perasaan tidak aman dan takut kehilangan Rangga berubah menjadi amarah. Ia tahu, jika Rangga benar-benar pergi, reputasinya sebagai wanita yang memenangkan pria dari keluarganya akan hancur. Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Siska mulai memikirkan langkah berikutnya. Baginya, cara terbaik untuk menghentikan Rangga adalah dengan membuatnya tidak punya pilihan lain selain tetap bersamanya.
Siska memutuskan untuk menelepon Rangga keesokan paginya. Suaranya terdengar lembut, tetapi ada nada manipulatif di baliknya.
“Mas, kita perlu bicara,” katanya ketika Rangga mengangkat telepon.
Rangga menghela napas. “Siska, aku sedang sibuk. Bisa kita bicara nanti?”
“Aku yakin kamu bisa meluangkan sedikit waktu. Kalau tidak, aku mungkin harus bicara dengan orang lain tentang hubungan kita. Kamu tahu, orang-orang di kantor pasti akan sangat tertarik mendengar cerita kita, kan?” ancam Siska dengan nada manis.
Rangga terdiam. Ia tahu bahwa ancaman itu bukan lelucon. Siska tahu terlalu banyak tentang dirinya, dan jika ia benar-benar berbicara, itu bisa merusak reputasinya di kantor dan bahkan keluarganya.
“Oke, aku akan datang setelah kerja,” jawab Rangga akhirnya, meskipun ia merasa terjebak.