Suami-suami Seribu Dapat Tiga

riwidy
Chapter #3

Bab 3. Malam Hening untuk Danny

Danny terhempas ke sofa ruang keluarga, punggungnya berderit protes. Ini bukan tempat ternyaman untuk tidur, apalagi setelah seharian berjibaku dengan tuntutan kantor dan—yang lebih berat—tuntutan rumah tangga. Bantal leher kesayangannya yang bermotif Super Mario terasa terlalu kecil untuk menopang beban pikirannya. Selimut tipis pemberian maskapai penerbangan yang entah kapan ia bawa pulang, tak cukup menghalau dinginnya malam.

Keheningan yang mencekam menggantung di udara, lebih pekat dari asap rokok tetangga yang suka membakar sampah. Biasanya, jam segini, rumah ini akan dipenuhi suara Pramita yang cerewet tentang jadwal besok, atau siaran TV dari saluran gosip selebriti, atau setidaknya dengkuran halusnya yang sesekali keluar. 

Sekarang, hanya ada suara kulkas yang mendengung dan detak jam dinding yang entah kenapa terdengar lebih cepat dari biasanya. Suara kecap ‘Merak Terbang’ seharga dua ribu perak seolah bergaung, mengejeknya dengan kemurahan harganya.

Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan wajah Pramita yang memerah, bibir yang bergetar mengucapkan kata-kata itu.

"Aku nyesel nikah sama kamu! Pria nggak berkualitas! Kamu itu kayak suami seribu dapat tiga!"

Kata-kata itu menghujam, menembus lapisan 'santai' yang selama ini ia banggakan. Pramita memang sering marah, sering mengeluh, tapi tak pernah sampai sekejam itu. ‘Suami seribu dapat tiga’. Ia mengernyit. Apakah ia sebegitu tidak berharganya? Apakah cintanya, kerja kerasnya, kehadirannya—semua hanya dianggap barang obralan yang bisa didapat dengan harga diskon?

Danny meraih ponsel di saku celananya, mencari foto lama. Jemarinya berhenti pada satu foto: ia dan Pramita di pinggir pantai, matahari terbenam memeluk mereka dengan warna jingga keemasan. Ia berlutut di pasir, kotak cincin beludru di tangannya, sementara Pramita menutup mulut, matanya berkaca-kaca antara haru dan tak percaya.

(Kilas balik.)

Angin laut berdesir pelan, membawa aroma asin dan kehangatan senja. Pramita terlihat begitu cantik dengan gaun putih ringannya, rambutnya yang hitam legam menari-nari diterpa angin. Danny menarik napas panjang, jantungnya berpacu seperti kuda pacu yang baru dilepaskan dari gerbang.

"Pramita..." Danny mulai, suaranya sedikit bergetar. Ia berlutut, menatap mata Pramita yang memancarkan kebingungan sekaligus harapan. "Aku tahu aku bukan pria paling sempurna di dunia. Aku tahu aku sering ceroboh, sering lupa, dan kadang suka menunda-nunda."

Pramita tersenyum tipis, matanya menyiratkan kelembutan. "Kamu itu apa adanya, Danny. Itu yang membuatku nyaman."

Danny merogoh saku, mengeluarkan kotak kecil. "Tapi, satu hal yang pasti, aku tahu aku mencintaimu lebih dari apapun. Lebih dari game bola, lebih dari film action." Ia tertawa pelan. "Mungkin bahkan lebih dari nasi goreng buatan ibuku."

Lihat selengkapnya