Gelap sudah merayap sempurna di luar jendela ketika denting notifikasi dari grup ‘Istri-Istri Sabar’ sekali lagi memecah kesunyian apartemen Gea. Kali ini, bukan Pramita yang mengunggah keluh kesah, melainkan Sasmi yang mengirimkan tautan iklan diskon barang mewah, disusul komentar pedas tentang “pria yang tak mengerti arti kualitas”.
Gea, yang duduk bersila di sofa ruang tamu yang temaram, tidak tahu persis mengapa hatinya tiba-tiba terpercik api revolusi. Mungkin itu efek domino dari cerita Pramita yang semalam, atau mungkin memang sudah saatnya ia mengibarkan bendera perang di rumah tangganya sendiri.
Ia melirik jam dinding berbentuk Pac-Man yang menunjukkan pukul sebelas lewat seperempat malam. Jeffry, suaminya yang setia—namun prioritasnya seringkali menyimpang—belum juga menampakkan batang hidungnya.
Pasti masih berkutat dengan komunitas motor klasiknya, atau mungkin sedang berburu action figure edisi terbatas. Hobi-hobi itu, yang dulu ia anggap lucu dan menggemaskan, kini terasa seperti selingkuhan berwujud plastik dan oli yang merenggut waktu serta perhatian Jeffry darinya. Sebuah gelembung amarah pelan-pelan mengembang di dada Gea, dipupuk oleh rasa jengkel yang terakumulasi.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan di pintu terdengar. Gea tidak beranjak. Ia sengaja membiarkan Jeffry menunggu sebentar, memberinya sedikit rasa bersalah sebelum membuka pintu. Lampu ruang tamu tetap mati, hanya cahaya remang dari layar ponselnya yang memantul di wajahnya.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dengan kunci duplikat. Jeffry masuk, tubuhnya diselimuti aroma knalpot dan keringat yang entah bagaimana ia bisa anggap sebagai parfum pria petualang.
Sebuah kotak besar yang Gea duga berisi action figure setinggi lutut, dipeluk erat di bawah lengannya. Raut wajah Jeffry tampak sumringah, aura kebahagiaan terpancar jelas dari tiap pori-porinya. Ia bahkan tidak menyadari kegelapan di ruang tamu atau bayangan istrinya yang duduk diam seperti patung.
"Wah, pas banget! Aku dapat Iron Man edisi limited yang cuma diproduksi dua ratus unit di seluruh dunia!" serunya, suaranya bergaung di keheningan. "Udah aku bilang kan, aku harus datang pagi tadi buat antrean! Untung banget aku dapat!"
Jeffry berjalan lurus menuju rak koleksinya, seolah-olah Gea tidak ada. Dengan semangat ’45, ia meletakkan kotak itu dengan hati-hati, lalu mulai mencari posisi terbaik untuk memajang harta karun barunya. Di sinilah Gea memutuskan bahwa ia tidak bisa lagi menunda.
"Dari mana saja kamu, Tuan Kolektor?" Gea menyuarakan, nadanya dingin seperti es di Antartika.
Jeffry terkesiap, nyaris menjatuhkan koleksi Transformer-nya. Ia berbalik, matanya mengerjap menyesuaikan diri dengan kegelapan. "Astaga, Gea! Kamu di situ? Kenapa gelap-gelapan? Kirain udah tidur."
"Bagaimana aku bisa tidur nyenyak kalau suamiku lebih memilih menghabiskan waktu dengan mainan plastik daripada dengan istrinya sendiri?" Gea balas menembak, berdiri dan berjalan mendekat. Wajahnya, yang biasanya ramah dan romantis, kini menunjukkan garis-garis kekesalan yang tegas.