Suami-suami Seribu Dapat Tiga

riwidy
Chapter #6

Bab 6. Aliansi Suami Teraniaya

Pagi masih memeluk sisa-sisa embun, namun bagi Danny, matahari sudah terasa seperti lampu sorot interogasi. Rasa perih akibat bantal sofa yang terlalu tipis masih menempel di tengkuknya, bersaing dengan pedih di ulu hati yang tak kunjung hilang sejak malam sebelumnya. 

Ia menghela napas, menyeret kantong sampah hitam besar berisi remah-remah sarapan yang tak sempat dijamah Pramita. Tugas membuang sampah, yang biasanya ia kerjakan dengan riang gembira sambil mendengarkan podcast, kini terasa seperti ritual penyerahan diri ke tiang gantungan.

Saat ia mencapai tempat penampungan sampah komunal kompleks perumahan, di mana deretan tong hijau besar berjajar rapi, Danny melihat sesosok pria lain di sana. Bahu tegap Jeffry, sang tetangga yang rumahnya hanya terpaut dua petak, terlihat sedang menendang pelan salah satu tong sampah, seolah sedang menegur isinya. 

Jeffry biasanya sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali, sibuk dengan hobinya sampai larut malam. Keanehan ini, pikir Danny, mungkin sinyal alam semesta bahwa ia tidak sendirian dalam kemalangan.

"Pagi, Jeff," sapa Danny canggung, mengangkat kantong sampahnya.

Jeffry menoleh, matanya sedikit bengkak. Ada lingkaran hitam samar di bawah sana. Ia memaksakan sebuah senyum yang lebih mirip ringisan. "Pagi, Dan. Wah, tumben masih di rumah? Nggak kerja?"

Danny menunjuk kantong sampahnya. "Ini, ada misi penting negara. Lagipula, hari ini WFH." 

Ia melirik kantong sampah yang dipegang Jeffry. Kantongnya berwarna biru, bukan hitam seperti miliknya. Jelas itu kantong Gea, istrinya. 

"Kamu juga tumben? Biasanya jam segini udah tancap gas."

Jeffry mendengus. "Nggak tahu deh, Dan. Males. Semalem... uh, ada 'konser'."

Ia melirik Danny, lalu ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. "Konser solo. Dari Gea."

Danny mengangguk pelan. Ia mengerti. Pramita juga sering menggelar 'konser' serupa. Hanya saja, 'konser' yang ini diakhiri dengan kalimat final yang begitu menusuk. 

"Salah beli kecap," bisiknya, lebih kepada diri sendiri.

"Hah? Apa, Dan?" Jeffry bertanya, tak mendengar jelas.

"Ah, nggak, nggak," Danny buru-buru meralat. Ia melemparkan kantong sampahnya ke tong hijau terdekat dengan suara pluk yang memuaskan. 

"Cuma mikir, kok bisa ya cowok-cowok ini salah mulu di mata istri." Ia tersenyum getir.

Tiba-tiba, dari arah berlawanan, muncul Jauhari. Pria yang satu ini, dengan kemeja rapi yang sudah kusut dan rambut yang acak-acakan, biasanya adalah simbol ketenangan. Tapi pagi ini, aura gelisah menyelimuti tubuhnya. Ia berjalan pelan, menyeret kantong sampah putih bening yang mencolok, memperlihatkan tumpukan wadah takeaway makanan cepat saji.

"Pagi, Dan, Jeff," sapa Jauhari, suaranya serak seperti baru bangun dari tidur yang tidak nyenyak. Ia langsung melemparkan kantong sampahnya dengan gerakan tak bersemangat.

"Pagi, Jah. Wah, kalian semua pada mau buang sampah hari ini ya? Lagi ada promo?" Jeffry mencoba melucu, namun hasilnya nihil.

Jauhari tidak tersenyum. Ia menatap ke kejauhan. "Promonya kayaknya, 'siapa cepat dia nangis'," gumamnya.

Lihat selengkapnya