"Alhamdulillah, kita sudah sampai, siapkan barang-barang yang penting saja, agar mudah untuk dibawa," kata pembina.
Semua orang bersuka ria, saat sampai di salah satu gunung di Indonesia yaitu Gunung Tangkuban Parahu dengan cerita uniknya si Sangkuriang. Anak yang mencintai ibu kandungnya sendiri.
Rara berlari keluar setelah pembina berbicara, karena ia sudah tidak tahan dengan makanan yang sudah berada dimulutnya, ia ingin sekali memuntahkannya, ia Rara mabok perjalanan.
"Sadecin!" kata Ali membangunkan Aliyya yang tengah tertidur pulas, dengan memyenderkan kepalanya ke jendela. Sedangkan para siswa dan siswi lain sudah keluar dari bis.
Satu kali, Aliyya tidak terbangun. Ali mendekatkan diri agar mudah membangunkan Aliyya.
"Sadecin?"
Plumm!
Kepala Aliyya mendarat tepat di bahu kanan Ali, tangan kirinya mengambil posisi dan berada digenggaman Ali. Dan mendaratkan tubuhnya disamping Ali
Ali berdetak kencang, seraya berbisik. "Tidak ada seorang pun, yang dapat mengambilmu dari saya, Aliyya."
Aliyya mulai membuka matanya dan merasakan kehangatan pada tangan yang ia pegang. "Bentar, tangan? Saat kapan aku memegang tangan?" tanya Aliyya pada dirinya sendiri.
Lanjutnya. "Mungkin aku terlalu pulas tertidur, jadi aku gak sengaja memegang tangan Rara." Aliyya masih diposisi yang tadi.
"Bang, Gua capek! Muntah mulu! Ambilin minyak angin di tas!" kata Rara yang masuk lagi kedalam bis.
Batin Aliyya. "Bentar, itu suara Rara?! Terus, tangan siapa yang Aliyya pegang ini?!"
"Ganggu aja, Lu," kata Ali lalu melepas genggamannya pada Aliyya yang masih tertidur pulas dipundaknya padahal Aliyya sudah terbangun tetapi masih belum terkontrol kesadarannya.
"Cepetan! Ooooy."
Batin Aliyya. "Mending Aliyya pura-pura tidur deh, malu kalo sampai Ali dan Rara tau, gimana nanti image Aliyya hancur, cuma karena pegang tangan Ali."
"Aliyya masih belom bangun? Banguni dong!" kata Rara setelah diberikan minyak angin oleh Ali dan yang melihat Aliyya masih tertidur pulas.
"Udah biarin, beberapa waktu lalu ia kelelahan bekerja di OSIS. Jadi, biarin dia tidur."
"T-tapi."
"Sudah sampai ya?" tanya Aliyya, dengan ekspresi yang masih terdiam agar Ali dan Rara tidak mengetahui bahwa ia dari tadi sudah terbangun.
"Udah bangun? Maaf, tadi gua kesian liat muka lu yang udah kecapean, jadi gua putusin membiarkan lu tertidur," jelas Ali.
Aliyya hanya mengangguk. Lalu mereka keluar dan memperhatikan keadaan sekitar.
"Bandung memang paling nyaman, selain ...." kata Aliyya setelah beberapa saat terdiam.
Ali menoleh kepadanya seraya menunggu lanjutan ucapan Aliyya.
"Selain kota kelahiran kita!" Aliyya berlari lalu diikuti oleh Ali.
Ali menggelengkan kepala dengan ukiran senyum manis yang ia torehkan.
"Hati-hati, nanti jatuh loh, Dek!" kata Ali setelah melihat Aliyya begitu senang dan girang.
"Dek aja? Gak pake Decin atau Sadecin?!" Aliyya memberhentikan langkahnya dan menatap gemas muka Ali.
Ali hanya tersenyum lebar, Aliyya melanjutkan perjalanannya, sembari merasakan suasan pegunungan Bandung.
JDETT!
"ALIYYA!!" teriak Ali, raut wajah Ali berubah drastis menjadi memerah setelah melihat Aliyya terbaring lemah ditengah jalan, lalu ia berlari menghampirinya dengan kecepatan kilat.
Ali dan Aliyya menjadi bahan tontonan, motor yang menyerempet Aliyya pergi begitu saja, karena tidak begitu banyak pengunjung, jadi mufah bagi si tersangka untuk melarikan diri.
"Aliyya!! Dek?! Decin!!! DECIN!!" Kata Ali, dan membiarkan kepala Aliyya yang telah terbaring lemah tersimpan di pahanya.
"G-gua, punya nenek!! Sekitar empat kilo dari sini! Dia bisa ngurut!! Cepet!!! Cari motor atau apa kek!!!!!" Ali sangat khawatir, sangat terlihat dari raut wajahnya.
"ALIYYA!!" kata Sultan yang ternyata berada di tempat ini, yang tidak sengaja lewat ditengah keramaian, sebab Sultan ada project dengan beberapa rekan kerjanya di Tangkuban Parahu. Sultan melihat Aliyya dengan tertunduk sedih dengan membiarkan dokumen yang berada ditangannya jatuh begitu saja.