SUAMI YANG DIRINDUKAN

Embart nugroho
Chapter #1

PERJODOHAN

Langit sore di Jakarta berwarna tembaga. Lampu-lampu kota mulai menyala, menyapu jendela kaca tinggi tempat Airis Ardelia berdiri mematung. Di luar sana, billboard besar menampilkan wajahnya yang tersenyum—senyum yang sedang memikat jutaan penonton di seluruh negeri. Namun di balik senyum itu, seorang gadis sedang merasa terperangkap di dalam hidup yang bukan pilihannya.

Telepon berdering di meja kaca marmer. Nama ayahnya tertera di layar.

“Besok malam kamu akan bertemu calon suamimu,”

suara sang ayah terdengar tegas, tanpa ruang untuk bantahan. “Namanya Pramudia. Anak sahabat Papa. Sopan, berpendidikan, dan… dia laki-laki yang bisa menjaga nama baik keluarga.”

Airis terdiam. Kemudian tawa sinis meluncur begitu saja.

“Papa bercanda, kan? Aku—aku Airis Ardelia! Aku baru dapat tawaran film Hollywood, aku punya rencana menikah dengan Alexander! Kenapa aku harus—dijodohkan—dengan orang biasa?!”

“Cukup, Airis,” suara ibunya menyusul dari seberang, lembut tapi tajam.

“Kamu sudah terlalu lama hidup dalam dunia yang tidak nyata. Saatnya kamu belajar tentang komitmen.”

Airis menatap cermin. Di sana, ia melihat seorang perempuan dengan makeup sempurna tapi mata yang mulai berair. Dalam hitungan menit, kilauan selebritas berubah menjadi penjara emas.

“Tidak,” bisiknya pelan. “Aku tidak akan menikah dengan orang yang bahkan tak selevel denganku.”

Ia meraih kunci mobil, mantel panjangnya, lalu keluar dari apartemen mewah itu. Kilatan kamera paparazzi menembus malam, tapi ia tidak peduli. Ia ingin lari—lari dari perintah, dari keluarga, dari hidup yang disusun orang lain.

Di jalanan yang basah oleh hujan ringan, Airis berhenti di depan billboard dirinya sendiri. Wajah besar itu tersenyum kepada dunia, seakan mengejek.

“Kalau dunia ingin melihat aku tunduk,” ujarnya pada pantulan dirinya di kaca toko, “maka mereka belum tahu siapa Airis Ardelia sebenarnya.”

Malam itu menjadi awal dari pemberontakan besar—bukan hanya terhadap keluarganya, tapi terhadap takdir yang kelak menuntunnya pada cinta yang tidak pernah ia hargai… sampai semuanya terlambat.

###

 

Restoran itu terlalu tenang untuk malam sepenting ini. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya ke dinding marmer putih, sementara denting piano lembut mengisi udara. Di salah satu meja VIP, Airis duduk dengan gaun hitam elegan yang menempel sempurna di tubuhnya — wajahnya cantik, tapi mata itu kosong.

Ia memutar gelas anggur tanpa benar-benar meminumnya. Jam tangannya menunjukkan pukul delapan lewat lima belas. Terlambat lima belas menit.

“Bahkan orang yang dijodohkan denganku tidak tahu sopan santun,” gumamnya, sinis.

Lalu suara langkah terdengar mendekat. Tenang. Berat. Airis mengangkat pandangannya — dan di hadapannya berdiri seorang pria dengan kemeja putih sederhana dan jas abu-abu, rambutnya rapi tapi tidak berlebihan, sorot matanya teduh dan jujur.

Pramudia. Ia tersenyum singkat dan menunduk sopan.

“Maaf saya terlambat. Jalanan macet,” ucapnya singkat, suaranya dalam dan menenangkan, seperti seseorang yang tidak sedang berusaha mengesankan siapa pun.

Airis menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. Tidak ada aura “laki-laki luar biasa” seperti Alexander. Tidak ada parfum mahal. Tidak ada jam tangan mewah.

Hanya kesederhanaan — dan itu membuatnya muak.

“Kamu tahu siapa aku?” tanya Airis, nada suaranya tajam.

“Tentu. Airis Ardelia, aktris yang baru memenangkan penghargaan nasional,” jawab Pramudia tanpa canggung.

“Lalu kamu tidak merasa canggung? Duduk di meja dengan orang sepertiku?”

Lihat selengkapnya