Gedung di pusat kota dihiasi bunga putih. Cahaya sore menembus jendela kaca patri, menyorot karpet merah panjang di tengah ruangan. Semua orang berbisik, beberapa memotret dengan ponsel, tapi Airis Ardelia hanya menatap lantai, tanpa senyum.
Gaun pengantinnya indah—bulu-bulu halus di bahu, rok panjang yang berkilau di bawah cahaya lilin—tapi wajahnya dingin seperti es. Ia berjalan di lorong menuju pelaminan, langkahnya sempurna tapi hatinya penuh pemberontakan.
Di ujung karpet merah berdiri Pramudia, jasnya rapi, rambut tertata, wajah tenang, tangan sedikit gemetar. Ia menatap Airis dengan mata yang menampung kesabaran dan sakit hati yang lembut. Ia tahu Airis membencinya, tapi tetap hadir, karena janji dan kehormatan.
Airis menunduk. Ia tidak ingin menatap Pramudia. Ia membayangkan Alexander, tersenyum padanya, lalu hatinya semakin panas.
Pramudia mengulurkan tangan. Ia tidak memaksa, hanya menunggu. Airis menatapnya sekilas, lalu menolak genggaman itu. Sebuah bisikan di dalam dirinya mengatakan: “Ini salah… ini bukan hidupku.”
Tetapi orang-orang di sekeliling menunggu, foto diambil, senyum dipaksakan, dan pelaminan tetap berjalan. Pramudia menahan napas, membiarkan tangannya tetap di samping tubuhnya. Ia tahu, meski hatinya terluka, ia harus menghormati proses ini.
Airis akhirnya menatapnya sekali, tatapan tajam yang mengandung kemarahan, frustrasi, dan penyesalan yang belum muncul.
“Aku tidak akan pernah mencintaimu,” katanya pelan, tapi cukup terdengar bagi Pramudia.
“Aku tahu,” jawabnya singkat, suaranya tenang, seolah menerima kenyataan pahit itu.
Ketika mereka mengucapkan sumpah, kata-kata itu terdengar hampa bagi Airis. Ia bergerak seperti boneka—mengarahkan senyum tipis ke kamera, mengangguk pada keluarga, tapi hatinya sudah jauh dari sini.
Pramudia, di sisi lain, menahan segala perasaan. Ia sadar bahwa di mata istri barunya, ia hanyalah pria biasa. Tapi di balik tatapannya yang tenang, tersimpan satu tekad: Aku akan menghormati keputusan ini. Suatu hari, mungkin, hatimu akan mengerti.
Acara selesai. Tamu-tamu bertepuk tangan. Lampu kristal berkilau, kamera menyorot pasangan baru, tapi di balik semua kemewahan itu, dua hati yang duduk di pelaminan hanya terasa sunyi. Mereka berdua telah bersatu secara resmi, namun jarak di antara mereka lebih jauh daripada sebelumnya.
Dan di balik dinding mewah itu, sebuah perasaan gelisah tumbuh — bahwa pernikahan ini bukan tentang cinta, tapi tentang takdir, kehormatan, dan sebuah ujian kesabaran yang akan menuntun mereka ke perjalanan yang tak terduga.
###
Pesawat itu mendarat di Bandara Kualanamu dengan hentakan lembut. Langit Medan sore itu kelabu, seperti turut menyelam dalam kesedihan Airis. Dari jendela pesawat, ia menatap deretan awan yang perlahan menghilang di balik horizon — seolah bersama mereka, ia meninggalkan semua hal yang pernah membuatnya hidup.
Jakarta kini terasa seperti mimpi yang usang. Lampu-lampu kota, sorotan kamera, musik di panggung catwalk — semuanya sirna digantikan suara azan dari kejauhan dan aroma tanah basah selepas hujan.
Pramudia berjalan di depannya dengan langkah tenang, koper di tangan, wajah datar tanpa ekspresi.
“Selamat datang di Medan,” katanya singkat, dengan senyum kecil yang sopan tapi hambar.
Airis mengangguk, bibirnya kaku. Dalam diam, ia menatap suaminya — laki-laki yang kini sah memegang masa depannya. Seorang pegawai negeri, sederhana, berpendidikan baik, dan terlalu normal untuk dunia yang pernah menjadi panggung kehidupannya.
Rumah keluarga Pramudia berdiri megah di sebuah kawasan kota Medan — dikelilingi pagar tinggi dan pepohonan besar yang menaungi halaman. Namun kemegahan itu bukan jenis yang hangat; melainkan yang dingin, kaku, dan penuh aturan. Keluarga besar itu masih keturunan darah biru. Tata krama menjadi hukum yang tak tertulis, dan setiap gerak Airis terasa diawasi.
Malam pertama di rumah itu, Airis duduk di tepi ranjang, menatap cermin. Gaun tidurnya sederhana, tanpa riasan, tanpa cahaya lampu studio. Wajahnya tampak asing — seperti perempuan lain yang tersesat di tubuhnya sendiri.
Ia teringat kata-kata ayahnya seminggu sebelum pernikahan:
“Papa tidak mau lihat kamu terjerumus. Dunia artis itu penuh dosa, penuh godaan. Papa cuma ingin kamu jadi istri yang baik. Rumah tangga yang tenang, itu kebahagiaan sejati.”
Kalimat itu masih menggema seperti mantra yang mengikat pergelangan tangannya. Ia tidak berani melawan. Tidak berani mengecewakan.
Namun semakin hari, kebisuan rumah itu menjadi penjara. Tak ada pesta, tak ada teman, tak ada lampu-lampu kota yang menenangkan. Setiap kali ia membuka televisi dan melihat wajah-wajah lama — teman-temannya yang masih bersinar di layar kaca — dadanya terasa sesak. Dunia itu kini seperti bintang jauh yang hanya bisa ia pandangi dari balik jeruji kaca.
Pramudia jarang bicara. Ia bukan lelaki jahat, tapi juga bukan yang tahu cara membuat istrinya hidup. Ia pulang setiap sore, duduk membaca koran, makan malam dengan sopan, lalu berdoa sebelum tidur. Semuanya rapi. Teratur. Membosankan. Dan di tengah rutinitas itu, Airis merasa dirinya perlahan memudar.
Suatu malam, ketika hujan turun deras, ia berdiri di teras belakang. Butiran air mengguyur rambutnya, tapi ia tidak bergeming. Ia menatap langit Medan yang gelap — tanpa cahaya, tanpa blitz kamera, tanpa tepuk tangan.
“Apakah ini harga dari menjadi anak baik?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Dalam hatinya, Airis tahu: cinta bisa dikorbankan, karier bisa ditinggalkan. Tapi kehilangan diri sendiri — itulah penderitaan yang sesungguhnya.
###
Pagi itu, matahari menembus tirai jendela kamar, tapi kehangatan cahaya tidak mampu menembus dinginnya ruang keluarga. Airis duduk di sofa dengan sarapan yang belum tersentuh. Wajahnya datar, bibirnya menekuk tipis, tangan memainkan ponsel seolah mencari alasan untuk tidak menatap Pramudia, yang baru saja masuk dengan setelan kerja sederhana.
“Kamu sudah sarapan?” tanya Pramudia hati-hati.
“Aku tidak lapar,” jawab Airis singkat, tanpa menatapnya.
Pramudia menghela napas, mencoba menahan kesabaran. Ia tahu perang ini baru saja dimulai.
“Airis, kita harus bicara… tentang kemarin malam.”
“Tidak ada yang perlu dibicarakan!” potong Airis cepat. “Aku tidak bisa percaya harus menikah dengan laki-laki biasa, kolot, kampungan seperti kamu. Apa kamu tahu betapa mengerikannya ini bagiku?”
Pramudia diam sejenak, menatap istrinya dengan mata teduh, menahan luka yang terasa menusuk.