SUAMI YANG DIRINDUKAN

Embart nugroho
Chapter #3

PERTENGKARAN

Udara sore di Medan terasa berat, seakan langit pun tahu ada perang dingin yang sedang terjadi di dalam rumah besar itu. Airis berdiri di ruang tamu, masih dengan gaun pastel yang belum sempat diganti sejak pagi. Cahaya dari jendela jatuh di wajahnya yang cantik tapi tegang, menyoroti sorot mata yang membakar — mata seorang perempuan yang dipaksa hidup dalam cerita yang bukan miliknya.

Pramudia berdiri di seberang, rapi dengan kemeja putih dan rambut tersisir ke samping. Diam, sopan, tapi terjebak di antara cinta yang tak pernah ada dan kewajiban yang terlalu berat untuk ditolak.

Airis melipat tangan di dada, bibirnya bergetar menahan marah.

“Sepertinya perjodohan cuma cocok di zaman Siti Nurbaya,” katanya sinis. “Tapi sekarang? Di zaman serba digital, kamu pikir ini romantis? Ini konyol, Pram.”

Tatapannya menusuk. “Kamu cowok paling bodoh yang pernah aku temui. Nggak ada perempuan lain di dunia ini sampai kamu rela menikah dengan seseorang yang bahkan nggak mau menyentuhmu?”

Pramudia menarik napas dalam, matanya menunduk. “Maafkan aku, Ris. Ini bukan kehendakku.”

Airis terkekeh pendek. “Lantas kehendak siapa?” suaranya meninggi. “Kehendak orangtuamu? Atau tradisi konyol keluargamu?”

“Orang tuaku sudah merencanakan ini jauh sebelum kita lahir,” jawabnya pelan. “Mereka bersahabat dengan ayahmu. Mereka menepati janji yang dulu mereka buat.”

“Omong kosong!” Airis menatapnya dengan marah yang nyaris bergetar. “Janji itu tidak akan berarti apa-apa kalau kamu tidak setuju! Kamu bisa menolak, tapi kamu memilih menghancurkan hidupku.”

Pramudia mengangkat wajahnya, suaranya tenang tapi getir. “Apakah aku salah kalau aku ingin berbakti pada orangtuaku? Aku hanya mencoba menjadi anak yang baik.”

“Jelas salah!” bentak Airis. “Karena kamu melukai orang lain demi terlihat suci!”

Ia mengambil langkah maju. “Aku mencintai laki-laki lain, Pram. Aku mencintai Alexander. Dan kamu tahu itu!”

Pramudia terdiam. Hanya napasnya yang terdengar, pelan, berat, menahan segala kata yang tak sanggup diucapkan. Ia tampak kecil di depan amarah Airis, tapi juga tidak membela diri.

Bagi Airis, diamnya itu justru lebih menyakitkan daripada seribu pembelaan. Diam itu seperti tembok — dingin dan memenjarakan.

“Aku ingin kamu urus surat cerai secepatnya,” katanya akhirnya, datar tapi tegas. “Aku tidak mau hidup dalam sandiwara ini.”

“Ris…” suara Pramudia bergetar. “Kita baru saja menikah. Tidak mungkin aku menceraikanmu begitu saja. Apa kata orangtuaku? Apa kata keluargamu?”

“Aku tidak peduli,” ucap Airis dingin. “Yang aku tahu, aku tidak bisa hidup dengan laki-laki seperti kamu.”

Ia menoleh sebentar ke arah pintu, memastikan suara mereka tak terdengar keluar. “Kamu nggak usah pura-pura jadi orang bijak. Aku tahu kamu juga nggak bahagia.”

Pramudia kembali menunduk, seperti menerima hukuman yang sudah ia tahu akan datang. “Perceraian bukan hal mudah, Ris,” katanya lirih. “Ada hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan.”

Airis menatapnya sejenak — wajah lelaki itu begitu sabar, tapi juga lelah. Entah mengapa, itu justru membuatnya semakin marah. Ia berbalik cepat dan meninggalkannya begitu saja.

Langkahnya bergema di lorong panjang rumah itu. Ia membuka pintu kamar dan menutupnya dengan hentakan halus. Udara di dalam kamar dingin dan kaku. Dindingnya berwarna krem pucat, seperti tanpa jiwa.

Airis duduk di tepi ranjang, menatap cermin di seberang. Wajahnya tampak lelah — bukan karena pesta pernikahan, tapi karena kehilangan arah. Ia teringat lampu-lampu kota Jakarta, suara musik di klub malam, kamera yang menyorot wajahnya di setiap panggung.

Kini semua itu terasa seperti dunia lain. Dunia yang telah dirampas darinya.

Ia menghela napas panjang, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya menetes, tapi ia enggan mengakuinya.

Ketika ia hendak berbaring, suara ketukan pelan terdengar di pintu.

Tok… tok… tok…

Airis diam. Napasnya tercekat. Suara itu terdengar sekali lagi, kali ini lebih lembut.

“Ris… boleh aku bicara?” suara Pramudia dari luar. Tenang. Penuh kehati-hatian.

Airis menatap pintu tanpa menjawab.

Hening.

Ketukan itu berhenti, tapi suara hujan di luar menggantikan keheningan. Airis memalingkan wajahnya ke jendela. Di balik kaca, langit Medan tampak kelam, tanpa satu pun bintang.

Di saat itu, ia menyadari — hidupnya benar-benar sudah berpindah dari panggung gemerlap ke dunia yang nyaris tanpa cahaya.

###

Lihat selengkapnya