SUAMI YANG DIRINDUKAN

Embart nugroho
Chapter #4

ARISAN

Pagi itu seharusnya terasa indah. Matahari Medan menyusup malu-malu di balik tirai putih, menebar cahaya lembut ke seluruh kamar. Tapi bagi Airis, sinar itu justru terasa menyilaukan—seperti mengingatkannya pada kenyataan pahit yang ingin ia lupakan.

Suara ringtone ponselnya meraung keras, memecah kesunyian. Ia meraba meja kecil di samping tempat tidur dengan gerakan malas, matanya setengah tertutup. Di layar, nama Ilana berkedip.

Airis menghela napas panjang.

“Ya, halo…” suaranya serak, berat oleh sisa kantuk dan beban pikiran.

“Duh, yang pengantin baru…” suara ceria Ilana langsung terdengar di seberang, menggoda tanpa ampun. “Jam segini baru bangun? Lembur ya, Cin?”

Airis memutar bola matanya. “Ah, kamu bisa aja, An…”

“Gimana kabarmu? Berapa ronde tadi malam?” Ilana terkekeh lepas, khas dunia selebritas yang tak pernah kehilangan bumbu candaan.

Airis mendengus. “Ih, kamu ini ya, ngomongnya sembarangan. Aku sama sekali nggak menikmatinya.”

“Masak sih? Itu kan malam pertama kalian. Seharusnya kalian udah bertempur sampai pagi dong!”

“Dia bahkan belum menyentuhku.” Airis bangkit, berjalan ke jendela. Tirai tersibak pelan, menyingkap halaman depan rumah keluarga Pramudia yang begitu rapi tapi dingin—seperti hatinya pagi itu.

“Maksud kamu?” suara Ilana terdengar bingung.

“Kamu tahu sendiri, An. Aku nggak pernah mimpi jadi istri dari laki-laki kampungan seperti Pramudia. Aku seperti… seperti berada di neraka.” Suaranya bergetar. “Please, help me…”

Ilana menghela napas dari seberang. “Sudahlah, Ris. Terima aja, mungkin ini memang jalan hidupmu. Nggak baik ngomong kayak gitu.”

“Enggak!” Airis hampir berteriak. “Aku nggak mencintainya. Aku cuma cinta Alexander. Lagi pula, dia bukan laki-laki tipeku!”

“Cinta bisa tumbuh, Ris. Kamu cuma kaget aja. Wajar kok…”

“Cinta? Kamu pikir ini film FTV? Aku bahkan nggak bisa memandang wajahnya tanpa merasa… jijik.”

Ilana terdiam sejenak. “Huuh… Kamu tuh keras kepala banget. Tapi dia sekarang suamimu yang sah. Secara agama dan negara.”

“Dan aku harus pura-pura bahagia? Aku ingin segera cerai, An. Aku nggak tahan!”

“Cerai? Astagfirullah, Airis… kalian baru semalam menikah! Kamu pikir pernikahan itu kayak kontrak sinetron bisa diputus seenaknya?”

Airis tak menjawab. Ia menatap langit biru di luar jendela—terlalu terang, terlalu asing. “Aku cuma ingin kembali ke Jakarta. Ke kehidupanku. Ke Alexander.”

Ilana mendesah. “Kamu harus sadar, Ris. Alexander udah nggak di dunia kamu lagi. Kamu bukan selebritas yang bebas memilih cinta. Kamu sekarang istri orang.”

“Dan kamu pikir aku akan bahagia dengan laki-laki itu?” Airis menahan isak. “Aku bahkan nggak tahu siapa aku sekarang.”

“Udah, Ris. Aku nggak bisa lama-lama. Aku ada syuting FTV pagi ini. Kamu tahu om Sutradara kayak gimana, kan?”

“FTV lagi?” Airis berusaha tersenyum. “Hebat kamu, An. Aku kangen kerja…”

“Ya udah, kamu juga semangat ya. Coba cari hal baik dari suamimu. Jangan terus-menerus marah. Nanti menyesal.”

“Menyesal sudah,” gumam Airis lirih. Tapi Ilana sudah menutup sambungan.

Airis menatap layar ponselnya yang kini gelap. Hening kembali mengisi kamar. Di meja kecil, ada secangkir susu hangat dan dua potong roti bakar—masih mengepul tipis.

Tangannya terhenti di udara. Sejenak, ia menatap sarapan itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu yang lembut di balik semua kebencian yang ia bangun. Pramudia sempat-sempatnya menyiapkan ini… untuknya.

Ia menarik napas dalam, lalu memejamkan mata. Dalam kesunyian itu, entah kenapa, ada getar kecil di dadanya—bukan cinta, mungkin hanya rasa bersalah yang samar.

Di luar, matahari terus meninggi, seakan menertawakan kebingungan dua insan yang baru saja disatukan oleh takdir, tapi masih berdiri di dua sisi dunia yang berbeda.

Airis berjalan ke kamar untuk bersiap. Ia mengenakan blus putih sederhana dan rok selutut berwarna krem. Wajahnya tidak ia poles dengan make up tebal seperti biasa, hanya bedak tipis dan lipstik pucat. Saat menatap cermin, ia nyaris tidak mengenali dirinya sendiri.

“Airis… yang bukan artis,” gumamnya pelan. Ada gurat kesepian di matanya.

Beberapa menit kemudian, mobil SUV milik keluarga Pramudia meluncur pelan meninggalkan halaman rumah besar itu. Sepanjang perjalanan menuju rumah Tante Selvi, Mama Pramudia terus berbicara riang tentang banyak hal: masakan, keluarga, dan sedikit tentang teman-teman arisan yang tidak sabar ingin melihat “menantu artis”.

Airis hanya tersenyum sesekali, sementara matanya menatap keluar jendela, menyaksikan pepohonan berlari mundur di balik kaca.

 

###

 

Di rumah Tante Selvi. Begitu mobil berhenti, beberapa ibu-ibu sudah menunggu di depan teras. Mereka semua menatap Airis dengan antusias, sebagian bahkan berbisik pelan.

“Itu kan Airis yang main di sinetron Cinta Dalam Luka, ya?”

“Iya, iya… tapi sekarang sudah menikah, lho, sama anak Bu Rini…”

Airis memasang senyum ramah yang sedikit kaku. Ia menyalami satu per satu ibu-ibu itu, mendengar mereka menyanjung kecantikannya, suaranya, bahkan gosip kecil tentang dunia hiburan yang mereka tahu dari media. Mama Pramudia tampak begitu bahagia, penuh kebanggaan. Tangannya menggenggam lembut tangan Airis.

“Inilah menantu mama. Cantik, ya? Tapi aslinya lebih kalem dari yang di televisi…”

Tante Selvi tertawa kecil.

“Wah, beruntung banget kamu, Rin. Anakmu dapat istri artis. Kalau aku mah, paling-paling cuma bisa nonton di layar kaca.”

Airis hanya tersenyum. Dalam hati, ia merasakan jarak yang aneh — seolah dirinya menjadi pameran hidup. Bukan karena mereka jahat, tapi karena dunia yang dulu ia kenal kini terasa begitu jauh.

Setelah arisan selesai, Airis pamit ke toilet sebentar. Di sana, ia menatap cermin lagi. Pandangannya kosong. Tiba-tiba ponselnya bergetar — pesan masuk dari manajernya:

“Ris, kamu nggak bisa terus kayak gini. Sutradara masih nunggu keputusanmu buat film baru. Kalau kamu nggak jawab sampai minggu ini, peran itu bakal dikasih ke orang lain.”

Airis menggigit bibir. Jantungnya berdetak cepat. Dunia yang ia tinggalkan kini memanggilnya lagi — keras, menuntut keputusan. Ia menatap dirinya di cermin, lalu berkata lirih,

“Aku ini siapa, sebenarnya? Istri Pramudia… atau Airis yang dulu?”

Kembali ke ruang tamu, Mama Pramudia tampak sibuk mengobrol. Airis menarik napas panjang, lalu tersenyum lagi. Seolah tak terjadi apa-apa. Namun di dalam dirinya, badai mulai berputar pelan.


###

Malam turun perlahan di rumah besar keluarga Pramudia. Hujan rintik-rintik membasahi jendela, menimbulkan suara lembut yang memantul di dinding kamar. Dari luar, rumah itu tampak tenang, tapi di dalamnya, ada dua jiwa yang saling diam.

Airis duduk di depan meja rias, menatap bayangan dirinya di cermin. Gaun yang tadi ia kenakan untuk arisan masih melekat di tubuhnya, tapi pikirannya jauh—terpaut pada pesan manajernya siang tadi. Tangannya gemetar kecil saat memegang ponsel.

“Aku ini siapa sekarang?” bisiknya pelan. “Istri Pramudia… atau Airis yang hidupnya cuma milik kamera?”

Pintu kamar terbuka pelan. Pramudia masuk, sudah berganti baju santai. Ia menatap Airis sekilas—wajah istrinya terlihat pucat dan lelah.

“Kamu belum tidur?” tanyanya lembut.

“Belum ngantuk,” jawab Airis singkat.

“Mama senang banget, lho, kamu mau ikut arisan tadi. Katanya semua orang kagum sama kamu.”

Lihat selengkapnya