"Sayang, bangun. Shalat subuh dulu." Mas Dana tak pernah absen untuk membangunkanku setiap hari. Suaranya sangat adem dan ramah di telinga.
Terkadang kami salat subuh berjamaah, ada kalanya juga Mas Dana salat sendiri jika aku susah untuk dibangunkan.
"Eumhh ... aku nggak shalat, Mas. Lagi halangan," lenguhku masih memejamkan mata.
"Aku bangun nanti aja, Mas." Katakanlah bahwa aku istri yang tidak tahu diri. Padahal ini adalah hari senin. Seharusnya memasak untuk suami yang hendak pergi ke kantor. Tetapi aku justru menarik selimut kembali lalu meringkuk dengan nikmat.
"Ya sudah. Mas mau ke dapur dulu," ucapnya yang tak mendapatkan respon dariku sama sekali karena kesadaranku perlahan menghilang.
***
"Jam berapa ini?" batinku saat membuka kelopak mata yang disuguhkan dengan pemandangan cahaya matahari memasuki kaca jendela. Mataku menyipit karena terlalu silau.
Bukan orang lain, pasti Mas Dana yang membuka gorden jendela itu. Dia memang sangat rajin dalam mengurus segala sesuatu.
Seperti saat ini. Diriku yang berjalan ke dapur, dimanjakan dengan aroma masakan yang begitu wangi.
Dengan cepat kuberjalan mendekati meja makan. Membuka penutup saji hingga menampakkan hasil masakan sang suami. Bagiku, dia memang lelaki yang sempurna.
Menunda kegiatan makan, aku kembali ke kamar untuk membersihkan diri. Setidaknya mencuci muka dan juga tangan agar merasa lebih baik. Setelah usai, aku meneruskan aktifitas di meja makan.
"Mi-la ... ud-ah bang-un?" Itu suara ayah mertua. Di usianya yang sekitar tujuh puluh tahun, beliau terkena stroke separuh badan. Sudah sekitar lima tahun ini, beliau baru bisa menggerakkan anggota badan yang terserang stroke itu sedikit demi sedikit. Bicaranya juga tidak begitu jelas.
"Udah, Yah. Kenapa?!" tanyaku dengan suara lantang agar beliau bisa mendengar. Saat ini ayah mertua sedang berada di kamar miliknya. Tidak terlalu jauh dari dapur.
"Ayya mau ma- kan."
Benarkah dia meminta makan? Memangnya ini jam berapa? Mataku beralih memandang jam dinding yang berada di belakangku.
Aku begitu terkejut saat jam menunjukkan pukul 10.00 WIB. Kenapa aku tidur lama sekali tadi? Ayah mertua pasti kelaparan. Ketahuilah, meski aku tidak menyukai sosoknya, namun rasa belas kasih masih ada dalam diriku.
Kegiatan makanku tertunda lagi. Aku menyiapkan makanan untuk ayah. Kemudian mengantarnya ke dalam kamar yang tak pernah dikunci olehnya.
Kulihat kamar itu yang begitu kotor bekas makanan tumpah tadi malam. Belum ada yang sempat membersihkan. Biasanya Mas Danalah yang melakukan itu. Aku? Mana mau.
Usai meletakkan nampan yang berisi makanan dan minuman di atas nakas, aku segera keluar dari kamar tersebut sebelum sang ayah meminta bantuan lain. Lagipula, beliau bisa berjalan menggunakan tongkat untuk sekedar pergi ke kamar mandi atau hendak duduk di depan televisi.