Suami yang Kurindukan

Endang Wiji Astuti
Chapter #2

Part 2 Kakak Ipar


Flashback


Dulu waktu lulus SD aku pernah berhenti sekolah selama dua tahun karena tidak punya biaya meneruskan sekolah di SMP. Selama itu, orangtua menyuruhku untuk membantu menjual dagangan mereka berupa sayur. Aku hanya menurut kala itu.


Hingga suatu hari bertemu dengan Mas Dana di warung makan miliknya yang masih kecil. Aku mendorong gerobak sayuran dan berhenti di depan sana dengan tujuan meminta air minum.


"Mas. Boleh minta air minum?" pintaku kala itu setelah masuk ke dalam warung kecil tersebut.


"Tunggu sebentar ya dek. Duduk dulu," perintahnya lalu menyiapkan sesuatu.


Aku tersenyum melihat Mas Dana yang bersikap lembut. Awalnya kukira bakal diusir. Namun, dugaanku salah. Ia justru menyambut dengan senyuman.



Sambil duduk di kursi, aku mengelap keringat menggunakan punggung telapak tangan. Kemudian membenarkan kunciran rambut yang sempat berantakan.


"Ini, Dek. Sekalian makan, ya? Ini ada tisu buat ngelap keringat," ucapnya dengan ramah. Kemudian dia duduk di sebelahku. Saat itu pengunjung sepi.


"Wah. Makasih, Mas. Padahal cuma minta air minum. Hehee." Aku tertawa kecil untuk mengusir rasa canggung. Mas Dana hanya tersenyum menatapku. Itulah awal aku menyukai pria yang saat ini menjadi suamiku. Terlalu dini, bukan? Mencintai pria dewasa?



Flashback off



***



Masih belum tidur. Mana mungkin aku benar-benar terlelap jika mendengar suara mesin cuci dinyalakan. Pelakunya pasti Mas Dana. Tempat laundry itu berada tepat di depan kamar tidur kami. Jadi, suaranya sangatlah jelas. Mas Dana sudah terbiasa mencuci baju sendiri. Terkadang aku yang mencuci, itupun sangat jarang.


"Dana!" Tiba-tiba suara lantang seorang wanita memasuki rumah kami. Ia mencari Mas Dana yang kini entah berada di mana.


"Kenapa, Mbak?" Terdengar suamiku menjawab panggilan dari kakaknya. Mungkin dia baru saja dari dapur. Biasanya membuat kopi pada jam seperti ini.


"Lah? Kamu malam-malam nyuci? Istri kemana?" Sudah dipatikan bahwa kakak ipar bernama Arumi itu melihat kegiatan suamiku. Dia memang tidak segan-segan menjelajahi isi rumah tempat kami tinggal. Tak hanya sekadar berkunjung.


"Udah tidur, Mbak," lirihnya yang masih bisa kudengar. Setelah itu, percakapan mereka bergeser ke ruang tamu. Yang artinya tak dapat kudengar apa-apa lagi.



***


Tak ingin seperti hari kemarin, aku berniat untuk bangun lebih awal pagi ini. Akan tetapi, tidak seperti yang kuduga. Saat membuka mata, gorden sudah terbuka luas seperti biasa. Matahari pun telah menyembul sempurna.


"Lah? Kok kesiangan lagi? Umhhh." Aku melenguh. Kemudian menyibakkan selimut dan segera pergi ke kamar mandi.


Lihat selengkapnya