Butuh waktu dua jam bagiku untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah. Akhirnya rasa malas berhasil kuusir. Kini ruangan kembali bersih, rapi dan wangi.
Selain bersih-bersih, aku juga memasak. Hitung-hitung belajar supaya Mas Dana tidak menampung beban yang terlalu berat. Mungkin ada yang penasaran kenapa pemilik restoran tidak punya asisten rumah tangga? Mas Dana tidak menyukai orang asing. Dia akan bela-belakan tubuhnya sendiri kelelahan daripada harus ada kehadiran orang lain di rumah ini.
Suamiku memang unik. Saking sabarnya dia, hingga terkadang aku merasa bosan tidak ada teman yang bisa diajak berdebat. Hidupku terasa biasa-biasa saja.
Mas Dana tidak suka marah, kecuali mengetahui diriku keluar tanpa seizin dia. Hari ini aku akan membuatnya marah padaku. Mana bisa berdiam diri di rumah saja, sedangkan sejak pagi tadi paru-paruku membutuhkan pasokan oksigen yang lebih segar. Lagian semua rumah seisinya sudah beres. Dijamin, Mas Dana tidak akan marah.
"Ayah! Mila mau keluar sebentar!" pamitku dengan berteriak tanpa harus masuk ke dalam kamar Ayah mertua. Biasanya jika hendak keluar, aku jarang pamit pada beliau.
"Jan-an pul-ang mam-mal-am, yaa?" Suara Ayah terdengar agak samar karena jarak kami lumayan jauh.
"Eum!" Aku menjawab dengan malas. Kemudian langsung menggamit tas kecil untuk dibawa.
Tidak mengapa bagiku keluar sendiri mengendarai motor. Meskipun pada akhirnya akan diejek jika bertemu dengan salah satu temanku. Mereka akan berekspektasi bahwa kendaraan yang kutumpangi berupa mobil terus-menerus. Itukan kalau pergi bersama Mas Dana. Sementara, diriku belum bisa menyetir mobil.
"Lho, pakai motor? Oh iya mas suami lagi sibuk kerja ya, lupa," seru temanku bernama Wanda.
"Minta dibeliin mobil sendiri dong, La," kata satu temanku lagi.
"Iya, tuh. Suami kaya masa istrinya kepanasan naik motor," imbuh Wanda.
Kurang lebih seperti itu jika bertemu dengan teman yang mengundang emosi. Saat ini tujuan utamaku sebenarnya adalah ke rumah orang tua sendiri. Sudah satu bulan setelah hari pernikahan, aku tidak mendatangi orang tuaku.
Sesampainya di rumah, aku memberi salam pada orang tuaku.
"Assalamualaikum, Ma." Aku masuk ke rumah dan mendapati ibuku sedang menempatkan nasi ke dalam mika tumpeng.
"Waalaikumsalam. Uhhuk uhhuk!" jawab ibu yang disusul dengan suara batuk. Beliau menoleh ke arahku dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Mama batuk sejak kapan?" Aku bersalaman dengan ibu kemudian duduk di lantai, di sebelahnya. Pandanganku menyapu seluruh nasi tumpeng yang sudah dan belum terbungkus mika.
Ibuku saat ini punya usaha tetering. Meskipun tidak begitu ramai pelanggan, namun sekali ada yang pesan bisa sampai ratusan bungkus.
"Kenapa nggak bareng suami aja? Pas libur 'kan bisa. Uhhuk uhhhk!" Bukannya menjawab pertanyaanku, ibuku malah membahas Mas Dana.
"Mas Dana sibuk banget, Ma. Kemarin aja dia pulang malam." Mika yang sejak tadi menganggur, kini aku masuki nasi beserta lauk ke dalamnya. Ditata dengan rapi nan cantik.
"Uhhuk uhhuk!" Mama terus terbatuk dengan ditahan di kerongkongannya.
"Mama ke dokter yuk!" ajakku pada ibu yang pasti tidak akan direspon. Benar saja, beliau hanya diam dan meneruskan kegiatannya.