"Syukurlah udah sadar," ucap Mas Zainal yang duduk di tepi kasur, di sebelahnya Mas Dana.
Saat ini kamar kami benar-benar ramai akan kehadiran orang. Bola mata Mas Dana berputar, mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaanku yang saat ini berada di ambang pintu. Tatapannya terlihat datar. Aku sendiri tidak tahu apa maksudnya.
"Dana, kamu ini kenapa? Kalau capek, istirahat aja. Jangan terlalu banyak kerja. Gini 'kan jadinya?" Suara Kak Arumi mengalihkan atensi Mas Dana.
"Lah wong di rumah aja dia masih kerja, Mbak. Urusin kerjaan rumah, nerusin kerjaan kantor." Dara menyusul angkat bicara. Sok tahu sekali dia. Ingin rasanya aku melempar sepatu boots ke wajahnya.
"Aku cuma pusing dikit, Mbak. Lagian di rumah udah ada Mila yang beres-beres. Aku udah baikan" Mas Dana menatap kedua wanita itu. Kemudian tatapannya berpindah pada Mas Zainal yang sedang memandangku dengan sorot mata benci.
Aku bangga saat Mas Dana bisa menutupi keburukanku di depan keluarganya. Bibirku tersenyum simpul.
"Ya udah. Kita sebaiknya pulang. Biar mereka istirahat," ujar Mas Zainal setelah membuang muka. Ia berdiri mengajak istrinya mendahului yang lain keluar dari kamar kami. Aku segera bergeser ke tepi. Membiarkan mereka berdua pergi. Kemudian yang lain ikut keluar sambil memberi ucapan-ucapan kebaikan pada Mas Dana.
Akhirnya keadaan kembali sepi. Setelah mengunci kamar, aku duduk di sebelah Mas Dana yang masih berdiam diri.
"Mas Dana beneran udah baikan?" Aku meraba wajah dan keningnya dengan sedikit ragu. Mencoba merasakan suhu kulitnya pada telapak tanganku. Lumayan panas.
Mas Dana menahan jemari tanganku di pipinya. Kemudian beralih menatapku. Kami bertatapan dalam jarak yang sangat dekat.
"La," panggilnya dengan lirih.
Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Bukan karena tatapan ataupun berada di dekatnya. Namun, nada suaranya membuatku takut. Sepertinya terjadi sesuatu dengannya. Ia juga tidak memanggilku 'Sayang'.
"Kenapa, Mas?"
"Kalau mas ada salah, mas minta maaf, ya?"
Pernyataan macam apa itu? Kenapa Mas Dana meminta maaf? Ia mengecup punggung tanganku dengan lembut. Kemudian menurunkan tanganku dan diletakkan di atas pangkuannya, masih digenggam olehnya.
Bukankah seharusnya aku yang meminta maaf karena tidak becus menjadi istri? Apakah dia melakukan kesalahan yang aku sendiri tidak tahu?
"Restoran kita ...." Mas Dana menghentikan ucapannya dan itu membuatku benar-benar khawatir.
"Kenapa, Mas?"
"Ada masalah, La. Mas nggak tahu kenapa, tapi kemarin ada beberapa pengunjung restoran yang keracunan makanan. Mereka nggak terima dan laporin ke polisi. Lalu, kemarinnya lagi juga ada pembeli online yang mengembalikan makanan pesanannya. Datang langsung ke restoran sambil menunjukkan makanan yang katanya ada gumpalan darah sama rambut."
"Gumpalan darah sama rambut? Kok bisa gitu, Mas?" Jelas saja aku terkejut bukan main.
"Mas juga nggak tahu. Mas cek CCTV di kantor tapi nggak ada yang mencurigakan."
Tatapanku mengikuti gerakan mata Mas Dana. Wajahnya terlihat sangat frustrasi.
"Mas pusing banget rasanya. Sejak kemarin restoran kita ramai bukan karena pembeli. Tapi karena mereka minta pertanggungjawaban hingga lapor ke polisi. Padahal bisa dibicarakan baik-baik. Tapi semuanya terlambat." Mas Dana menutup matanya sembari mengatupkan kedua bibirnya dengan rapat.
"Terlambat gimana, Mas?" tanyaku khawatir.
"Lima orang yang keracunan makanan, hari ini meninggal. Restoran kita ditutup. Mas juga takut kalau mereka melapor dan mas masuk penjara." Suara Mas Dana perlahan seperti hendak habis.
"Astaghfirullah, Mas. Sebenarnya gimana ceritanya sih, mas? Awalnya gimana? Keracunan jenis apa Mila nggak ngerti sama sekali, Mas, jelasin."
Tentu saja otakku berpikir keras karena tidak tahu menahu akan hal seperti ini. Mas Dana menarik napas panjang. Tiba-tiba ponsel Mas Dana berbunyi. Ia segera menjawab panggilan tersebut.
"Halo?" jawabnya seraya turun dari kasur. Ia menjauh dariku dan keluar kamar. Aku diam-diam mengekor untuk mendengar obrolan mereka.