Suami yang Kurindukan

Endang Wiji Astuti
Chapter #5

Part 5 Salam Terakhir


Sebuah nada panggilan menyadarkanku dari mimpi-mimpi samar. Setelah memberi jeda dua detik untuk mengambil pasokan oksigen, aku segera meraih ponsel di atas nakas. Layar ponsel menampilkan nomer asing masuk.


"Assalamualaikum?" Aku memberi salam sembari mengucek sudut mata yang terasa ada sedikit kotoran.


"Waalaikumsalam," jawabnya dengan suara berat.


"Armila?" lanjutnya kemudian.


"Iya. Ini suaranya mas Rivan?" tanyaku memastikan. Aku tidak terlalu dekat dengan mas Rivan, tetapi cukup hafal dengan suaranya karena sebelumnya sudah pernah bertemu.


"Iya La, ini aku Rivan. Mas Dana .…"


Deg!


Baru menyebut namanya saja, sudah berhasil membuat jantungku berdetak sangat cepat.


"Ada apa, Mas?" Aku langsung duduk dan bergeser ke tepi ranjang. Buru-buru melepaskan bawahan mukena. Iya, rupanya aku tertidur setelah salat tahajud satu jam yang lalu. Dan sekarang sudah pukul setengah empat pagi.


"Mas Dana kecelakaan."


Satu detik


Dua detik


Tiga detik


Empat detik


Lima detik


"La?"


"Mila ...?"


"Armila ...?"


Segala aktifitasku terhenti. Seluruh indra bagaikan tak berfungsi. Sesak macam apa sampai hati menolak untuk merasakan? Seperti terpantul padahal butuh tempat untuk mendapat pengakuan.


Satu tangan yang tadinya menggenggam bawahan mukena, kini melepaskan kain tersebut ke lantai. Hatiku mencoba tenang. Sabar dan siap ikhlas jika terjadi sesuatu yang lebih buruk pada suamiku. Aku menelan saliva dengan berat.


"Sekarang Mas Dana dimana, Mas?" tanyaku menahan tangis sekaligus sesak di dada. Aku melepaskan mukena seutuhnya lalu mencari keberadaan sweater di dalam lemari.


"Di rumah sakit. Aku akan bagi lokasinya sekarang juga."


"Aku akan ke sana sekarang, Mas."


"Oke. Hati-hati, La."


Panggilan telah diputus olehku. Setelah berpakaian rapi, aku melangkah cepat menyaut kunci motor. Sengaja tidak memberi kabar apapun pada siapapun. Rasanya akan mengganggu waktu tidur mereka. Saat ini juga pikiranku hanya tertuju pada suamiku.


Aku mengambil helm sembari menitihkan air mata pedih. Ribuan kalimat maaf kuucapkan dalam hati. Jangan sampai semuanya terlambat. Satu hal yang kulupa sekaligus menjadi kelemahan Mas Dana, dia tidak bisa berkendara dalam keadaan mengantuk sedikit pun. Apalagi pada saat larut malam atau bahkan dini hari.


Jalanan sangat sepi. Semua rasa takut harus kulawan sendiri. Lokasi rumah sakit yang belum pernah kukunjungi, karena jalan menuju kantor cukup jauh dan banyak melewati berbagai jalan. Hal ini membuatku harus melihat petunjuk lokasi yang dikirim oleh mas Rivan.


Butuh waktu sekitar empat puluh menit, akhirnya aku tiba di depan rumah sakit besar. Mas Rivan menungguku di lobi. Aku segera berlari ke arahnya usai menempatkan motor di tempat parkir.


Lihat selengkapnya