"Kenapa kau keluar darah?" Om Redi menatapku curiga. Tatapannya tertuju pada sprei.
Jantungku berdetak kencang dan aku tiba-tiba menjadi sangat tegang. Bagaimana cara aku menjelaskannya? Jelas aku tak mungkin mengatakan padanya yabg sebenarnya. Ia pasti akan sangat marah.
Om Redi mengernyit heran saat tatapannya kembali tertuju pada darah di sprei tempat kami barusan memadu kasih. Kami baru saja menikah.
Om Redi menatapku dengan wajah semakin curiga saja. Tatapannya padaku yang mulanya biasa saja kini berubah menakutkan. "Apa jangan-jangan, kau bohongi aku?!" Lelaki berbadan tegap ini mengikis jarak, masing-masing tangannya mendarat di pundakku. Ia menggeretakkan gigi dan terlihat sangat marah.
Wajar, jika dia sangat marah. Aku mendapatkan lelaki seusia ayahku ini dengan cara curang. Aku mencintainya tapi dia hanya menganggapku anaknya. Maka kepada ayahku, aku bilang bahwa aku dan Om Redi telah tidur bersama saat Om Redi mabuk karena ditinggal bibi menikah. Om Redi mulanya tak percaya dan tak mau bertanggung jawab. Tapi, ayahku memaksa karena aku mengaku hamil. Dan beginilah, akhirnya kami menikah.