"Kata orang, kematian memang selalu penuh gambar dan kebisuan."
—Rusdi Mathari
***
Kami bertaruh 25 gram emas yang kami kumpulkan dua tahun lamanya. Nilainya lebih dari 20 juta rupiah dan entah mengapa aku nekat mengiyakannya. Ia datang ke rumahku dengan jaket parasut hitam dan helm full face-nya yang tampak kebesaran untuk badannya yang ceking dan tinggi. Ibu belum menyiapkan makan malam. Tamuku malam itu membawa dua bungkus nasi goreng kambing kesukaanku, entah untuk menyogok atau ia habis ketiban pulung menang lotre. Kami makan berdua dalam kamarku yang 2x3 meter.
"Buku puisi gagal lagi?" Ia membuka-buka draf kasar Mati Ketawa Ala Kadarnya yang segera kurebut buru-buru. "Jangan nulis buku puisi lagi. Tulis novel saja." Ia seenaknya memerintah sana-sini. Pantas saja ia dipanggil Los Dol, mulutnya memang tidak disediakan rem tangan.
"Emang lu pikir gampang? Numis noh gampang!"
Tangannya merogoh-rogoh rak buku yang sudah doyong ke barat, nyaris rukuk. Los mengambil buku Mahfud Ikhwan, Menumis Itu Gampang, Menulis Tidak. "Udah baca?"
"Belum, belum rampung."
"Mahfud aja loh angkat tangan jadi penyair. Udah jangan ngeyel."
"Itu kan Mahfud."
"Namamu juga Mahfud, Su!"
"Itu kan nama belakang, Sat! Mahfud yang ini nama depan. Beda."
Perdebatan paling sengit serumah tangga itu diinterupsi dengan jeda minum dan mencuil sisa-sisa daging di sela-sela gigi. Kami sama-sama mengerti jika diteruskan, obrolan kami takkan sampai ke mana-mana, hanya menunggu nasi jadi tai. Maka kami memilih menghabiskan kudapan kami tanpa pamrih. Sesekali pandangan kami berseteru, mata ketemu mata, tapi tidak ada yang terjadi.
Sambil Los meremuk kertas minyaknya dalam genggaman dan membungkusnya kembali di kresek putih, dengan tangan masih mengkilap yang tak ia pedulikan juga, penawaran itu bergulir. "Aku punya cerita bagus buatmu, Su," ucapnya lirih.
Nasiku tinggal sesuap kecil dan timun-timun acar dan cabe setengah tergigit berserakan. Gerakan menyuap nasi terakhir tanpa jawaban dan pandangan kami yang kembali bertemu meningkatkan suasana misterius dalam kamar itu. Ibu masuk membawa sepiring kue gemblong yang sudah mengeras seperti sandal jepit. Dan seakan menyadari suasana intens antara dua pemuda bujang lapuk malam itu, ibu pamit keluar hanya dengan sesungging senyum tanpa basa-basi.
"Cerita apaan?" setelah olok-oloknya tentang buku puisi yang tak jadi, aku belum bisa menyisir arah ucapan Los, menyasar ke mana, dan menyembunyikan maksud apa, selain hanya menebak-nebak ini sungguh tipu daya yang nyata. "Cerita apaan?" aku mendesak. Pada posisi ini, biasanya ia akan meminta rokok milikku, dan sesumbar bahwa segala ketimpangan di dunia ini bisa diselesaikan dengan berbagi, lalu mulai bercerita.
Namun, malam itu bukan malam biasa, dan Los jelas bukan Los yang biasa. Ia seperti datang bukan sebagai Los Dol, lelaki mulut ringan yang tidak disukai perempuan karena terang-terangan mencemooh baju mereka yang norak. Aku seperti bicara dengan Soleh Susanto, lelaki bermata lebar yang kutemui sejak semester pertama kuliah. Maka, alih-alih ia memintaku berbagi rokok, Los mengeluarkan sebungkus Sampoerna 16 dari saku jaket parasutnya, masih suci, dan ia baru membuka plastik pembungkusnya di kamarku. Sudah barang tentu itu bukan malam Komet Halley lewat, tapi itu jelas kejadian langka. Sambil mengepulkan asap ke samping, Los kembali menatapku. "Ceritaku," katanya.
Pada titik ini jawaban Los membuatku agak linglung. Saking bingungnya aku sampai membakar rokok terbalik. Sebelum berhasil mengotak-atik rokok nyaris tak tertolong itu supaya bisa dihisap lagi, Los menjulurkan sebatang rokok baru. "Tulis ceritaku, Su. Bakar puisimu."