What the world needs now is love, sweet love
It's the only thing that there's just too little of
—Burt Bacharach
***
Los pernah punya media sosialnya sendiri. Dulu ia bermain dari warnet ke warnet dengan akun mIRC bernama tom_jones71. Jarang ada perempuan yang mengiriminya pesan lebih dulu, karena angka di belakang nama itu cukup bikin mereka ketar-ketir mengira ada seorang bapak-bapak seusia ayah mereka sedang menunggu perempuan untuk digombali.
Los tidak setua itu, tapi memang ia setolol itu menyematan angka 71 di belakang namanya. Dan tetap saja, sesekali ada yang mengajaknya mengobrol di balik nama anonim masing-masing. Kepada mereka ia menjelaskan bahwa angka 71 bukan mewakili tahun kelahirannya, melainkan alamatnya tinggal semasa sekolah dulu, Jl. Kramat 71. Dan Tom Jones adalah salah satu penyanyi Inggris yang sering ia dengarkan dan dendangkan lagunya di kamar mandi.
Ketika media sosial seperti Facebook dan Twitter mulai merajai jalanan internet, Los ikut menjajal keramaian itu. Kali ini ia masuk menggunakan namanya sendiri, dan tanpa embel-embel angka di belakangnya. Ia tersambung kembali dengan teman-teman lama yang masih ia ingat atau lupakan. Los jarang menampilkan foto pribadinya apalagi hanya seorang diri selain yang ada di profil. Jika foto profilnya tak dipotong, akan terlihat Pak Sutardji berdiri di sampingnya, tegap seperti tiang bendera menemani sang anak yang habis diwisuda.
Los pernah membuatkan ayahnya akun Facebook yang tidak butuh waktu lama sebelum dilupakan kata sandinya. Pak Sutardji merasa tidak memerlukan hal semacam email, apalagi Facebook, karena ia tak ada urusan untuk melamar kerja. Teman-temannya sudah banyak yang mati, dan yang masih hidup sibuk mempersiapkan kematiannya, maka internet jarang bisa mempertemukan mereka kembali. Tempat orang-orang tua bertemu bukan di sana, melainkan di jalan dan masjid.
Hari datang, hari pergi, pada akhirnya Los merasa semakin dalam dan larut ia mengikuti percakapan di dunia itu, malah membuat perhatiannya semakin jauh dan kabur dari hal yang benar-benar penting. Semakin banyak ia tahu, semakin banyak ia tak peduli. Hidup terus berjalan dan tragedi tak habis-habis seperti juga komedi. Perhatian Los terlalu cepat teralihkan dari berita duka, ke berita bola, ke berita persalinan artis, lalu kembali ke berita kematian lagi.
Suatu malam sebelum tidur, ia membaca berita seorang anak diperkosa ayah kandungnya yang polisi; saat terbangun ia membaca berita seorang polisi ditilang anaknya sendiri yang juga polisi; dan menjelang tidur lagi ia membaca berita perempuan muda mati bunuh diri setelah dihamili seorang polisi muda. Los tak pernah punya cukup waktu untuk berduka atau mengutuki hidup yang terkadang sia-sia. Maka Los pamit dari dunia ingar bingar itu. Dihapusnya satu per satu akun media sosialnya tanpa perasaan bersalah atas segala pesan yang belum terbalaskan. Jika ada hal yang memberatkannya untuk mengambil keputusan itu, tak lain pekerjaannya sebagai penulis rubrik di sebuah situs tentang gaya hidup urban. Dan demi menutupi kekosongannya, ia berkongkalikong dengan Bima, anak magang divisi digital marketing, untuk segera mengabarinya kalau-kalau ada berita hangat yang bisa diangkat. Tampaknya siasat itu berjalan dengan baik.
Tak pernah terpikirkan dalam mimpi Los terliar sekali pun bahwa ia akan bekerja sebagai karyawan kantoran. Bekerja di perusahaan swasta berada di urutan keduapuluh enam pada daftar kemungkinan profesi bagi Los—satu angka di atas penjaga tempat fotokopian; dan satu angka di bawah tukang pos. Ia pernah membaca ada pekerjaan di dunia yang bertugas untuk mencoba kenyamanan dan keempukan tempat tidur, tapi jelas di Indonesia ia tidak akan menemukan pekerjaan seenak itu. Dan sebagai lelaki yang tidak mewarisi darah biru Keraton Jogja, ia tak bisa bebas memilih.