Semenjak kematian ibunya, Los tak takut lagi dengan mayat atau hantu. Waktu itu usianya baru 13 tahun. Dan sebagai anak satu-satunya, ia bersama sang ayah ikut menaruh jasad ibunya ke dasar kubur, lalu hati-hati menutupinya dengan papan seperti menyusun lego. "Jadi begini akhirnya," Los membatin. Sebelum ibunya mati, ia sudah tidak bisa banyak bergerak karena stroke. Namun, orang mati benar-benar berbeda. Mereka bukan hanya diam, tapi juga tak memancarkan lagi kehangatan. Seperti patung yang terbuat dari tulang dan daging.
16 tahun kemudian, Los melihat ayahnya terbaring mematung di ranjang rumah sakit. Lain dengan ibunya, kematian sang ayah terasa begitu mendadak. Serangan jantung, kata dokter. Los hilang kata-kata. Ia pikir, ayahnya seperti kecoak yang tahan mati, atau sekurang-kurangnya bisa hidup 100 tahun. Semenjak kematian ayahnya, Los tak takut lagi dengan kehilangan. "Tuhan tak bisa merenggut apa pun lagi dariku," begitu pikirnya.
Kalau ada yang patut disyukuri dari hidup di Jakarta, adalah realita bahwa di kota ini kematian tak berarti apa pun. Orang-orang tak peduli dan mereka harus tetap bekerja. Bagi Los ini anugerah. Ia tak harus menjamu ratusan tamu sepanjang tujuh malam untuk mendoakan ayahnya naik ke surga. Di kampung halaman orang tuanya, keluarga almarhum tidak dibiarkan berduka sendirian. Mereka dipaksa mengasingkan pikiran dari kehilangan orang terdekat dengan menyiapkan jamuan bagi para pelayat. Namun, semua itu hanya perpanjangan waktu. Setelah tujuh hari, mereka kembali sadar telah ditinggal mati. Sementara di kota ini, Los bisa berduka saat itu juga setelah ayahnya tertimbun tanah.
"Kabari Lik kalau butuh apa-apa." Lik Yasin menepuk pundak Los sebelum pamit pergi ke toko. Sudah tiga hari sejak kematian ayahnya, dan Los hanya bisa berbagi duka dengan Lik Yasin. Duda berusia 50 tahun itu satu-satunya kerabat dekat Los yang tersisa di Jakarta—selain kedua anak Lik yang masih kecil (satu umur lima tahun, satunya lagi baru lulus SMP). Lik Yasin dulunya hanya penjaga kantin sekolah, sebelum ia diajak mas iparnya, Pak Sutardji bekerja di Pasar Mayestik. Rumah yang kini ditempatinya juga bekas tempat tinggal Los semasa kecil. Maka secara khusus, hubungan Lik Yasin dan Pak Sutardji tak sebatas hubungan antar ipar. Bagi Lik Yasin, Pak Sutardji adalah lelaki yang mengangkat penghidupan keluarganya dari kantin ke toko; dari penghasilan ratusan ribu ke jutaan; dari mengontrak ke punya rumah tetap. Dan ketika istri Lik Yasin mati karena kanker payudara, ikatan mereka berdua semakin erat sebagai sesama penyandang gelar duda.
Los sempat ditawari untuk tinggal bersama Lik Yasin di rumah lamanya. Namun, ia hanya bilang, "Lihat nanti Lik." Dan pamannya tak memberi tawaran apa pun lagi. Setelah hanya tinggal seorang diri, hidup Los berjalan otomatis. Ia makan ketika lapar, tidur ketika mengantuk, dan berjalan tak menentu ketika sedang tak lapar atau mengantuk. Lalu 24 jam berlalu begitu saja. Sesekali ia tiba di pusara kedua orang tuanya yang bersebelahan. Tanah kubur ayahnya tampak masih segar, sedangkan punya ibunya sudah berbaur dengan lingkungan sekitar dan tak kelihatan mencolok. Namun, ketika menatap kedua nisan itu, Los merasa sama-sama baru mengubur penghuninya kemarin.
Ia tak langsung pulang setelah merapal doa-doa yang dihapalnya sejak sekolah dasar. Melainkan meneruskan jongkok hingga kedua kakinya kesemutan. Selama jeda waktu itu, ia menanyakan kabar ibunya kepada sang ayah, lalu bertanya-tanya apakah sang ibu tak lagi kesepian di bawah sana. Kemudian ia terdiam beberapa saat. Mengingat-ingat kapan terakhir kali ia mengobrol santai dengan ayahnya di meja makan. Namun, ia pun tak pernah menemukan jawabannya.
Selama tiga hari sejak kepergian Pak Sutardji, Los hanya mengulang-ulang rutinitas tadi. Di hari keempat, ia lebih banyak di rumah karena dari pagi hujan lebat. Angin berembus hebat dan membuat suara hujan lebih mengerikan. Saat Los membuka pintu depan, wajahnya langsung diterpa dingin dan rambutnya terkibar ke belakang. Ia segera mengunci pintu lagi; berjalan ke dapur; membuka kulkas; mencari sesuatu yang tak pernah ia cari; menutupnya; cuci tangan di wastafel dengan sabun aroma lemon; membiarkan dua gelas kotor tetap kotor; masuk ke kamar; berbaring dan menatapi langit-langit; beberapa kali mengubah posisi tidur; mengecek hp sekian menit; menonton video remaja belasan tahun menjelaskan kalau dimensi keempat tak ada kaitannya dengan waktu; membaca ulang manga Vagabond yang tak pernah tamat; mengisi ulang baterai hp yang sisa 15 persen; lalu terdiam sesaat sambil berpikir, "Apa lagi?"
Ia lalu memutuskan kembali ke dapur; membilas dua gelas kotor; menurunkan semua piring, mangkuk, sendok, garpu dari rak bersih ke wastafel dan mencucinya ulang. Lelaki malang itu lebih teliti dan telaten mencuci piring-piring bersih ketimbang dua gelas kotor barusan. Biasanya kalau ada piring kotor menumpuk, Los bakal menggosok semuanya dengan spons bersabun lebih dulu, baru kemudian membilasnya sekaligus. Namun, karena kini punya banyak waktu, setelah menyabuni satu piring, ia langsung membilasnya, lalu mengeringkannya dengan kanebo kuning. Pagi itu, ada 12 piring yang dicuci ulang; 5 pasang sendok-garpu; 3 pisau dapur; 5 mangkuk; dan sebuah panci. Setelah rampung, matanya mengedar ke seluruh penjuru dapur. Suara hujan masih menembus atap dan jendela. Ia menguap lalu membatin, "Waktunya beres-beres rumah."
Ada tiga kamar di rumah itu, satu milik Los, satu punya ayahnya, terakhir buat saudara yang menginap. Ayahnya punya kamar mandi dalam, sedangkan Los harus menggunakan kamar mandi yang ada dekat ruang tamu. Kamar mandi itulah yang jadi sasaran pertama Los buang-buang waktu. "Kotor sekali," kata Los. Padahal, hanya ada sedikit kerak yang mesti digosok di wc duduk. Ia pun segera menyiapkan ember dan mengisi sepertiganya dengan air dan tiga tutup botol cairan pembersih. Los mengaduknya dengan tangan, dan mengendus ujung-ujung jemarinya untuk menikmati aroma lavender bercampur alkohol. Ia membilas tangannya karena terasa agak panas dan gatal, baru kemudian memakai sarung tangan karet dan mencelupkan sikat kayu ke ember. Ia mengawali ritual bersih-bersih dari wastafel keramik, cermin di atasnya, lalu wc duduk.
Los sekilas teringat waktu kecil pernah menjatuhkan sabun batang ke dalam wc habis berak. Di rumahnya dulu masih pakai wc jongkok. Ayahnya di luar mengetuk berkali-kali; mengingatkan sudah hampir jam 7 dan mesti bergegas sekolah. Los diam beberapa saat, menimbang-nimbang apa langkah selanjutnya. Ia melihat genangan air di wc tampak keruh karena kotorannya sudah mulai terkikis, sedangkan seonggok sabun antiseptik terjepit di tengah-tengah. "Soleh, ayo!" suara sang ayah menerjang dari balik pintu. Akhirnya ia nekat mengambil sabun itu dengan tangan kosong dan membilasnya cepat-cepat lalu menyiram bekas beraknya keras-keras. Ia tak pernah memberitahu ayah-ibunya sabun di kamar mandi habis kecemplung di wc. Selama dua minggu ia mandi tanpa bersabun, dan tiap kali dekat-dekat ayah-ibunya sehabis mereka mandi, ia selalu merasa bisa mencium aroma tai dari badan mereka.
Pagi itu Los ketawa sendirian mengenang ingatan tadi. Sayang sekali, pikirnya, kedua orang tuanya mati tanpa pernah tahu insiden kecil itu. Los selesai menyikati wc dan beralih ke lantai granit abu-abu. Ia tekun menggosoknya seperti dulu mengerok punggung ayahnya saat masuk angin. Setelah itu, ia membilas seisi kamar mandi pakai bidet dengan urutan terbalik, mulai lantai dulu; wc duduk; cermin; dan terakhir wastafel. "Sekarang sudah bersih," ia berucap bangga. Waktu berlalu hampir seperempat jam. Ia menggotong ember yang isinya berkurang sepertiga dan membawanya ke kamar mandi di kamar sang ayah, kemudian mengulangi ritual sebelumnya. Setengah jam berlalu dan ia baru merasa lelah. Hujan belum berhenti, hawa masih dingin, tapi punggung dan dadanya sudah basah berkeringat. Ia pun memilih rebahan sejenak di kasur mendiang Pak Sutardji lalu ketiduran.
Dalam mimpi singkatnya, ia melihat sang ayah sedang mendorong kursi roda ibunya yang kosong. Los mendekat. "Ibu mana?"
"Lagi cari makan," jawab ayahnya.
"Ibu bisa jalan?" Los bertanya lagi.