Suara dari Jauh

Inas Pramoda
Chapter #4

Wasiat

Soleh, ini semua ayah kumpulkan sejak ibumu meninggal dunia. Niatnya buat biaya nikahmu nanti. Tak usah bikin pesta yang megah-megah. Teman ayah sedikit. Uangnya buat rumah tanggamu saja. Kalau kamu baca ini, berarti umur ayah tidak cukup dan tidak sempat jadi walimu. Berarti kamu juga belum ketemu perempuan seperti ibumu. Semoga ini cukup, dan semoga anak ayah tidak menua sendirian. Maaf Soleh. Terima kasih sudah jadi anak ayah.

Sutardji.

***

Pak Sutardji tak mempersiapkan wasiat macam-macam sebelum mati. Ia sendiri mungkin terkejut begitu tahu waktunya di dunia sudah tuntas. Namun, kalaupun ia diberi waktu tambahan sehari, ia takkan menulis apa pun dan hanya menghabiskan sisa waktunya jalan-jalan bersama Los. Toh ia hanya punya seorang anak yang akan mewarisi segala sesuatu yang ia punya. Tak perlu ada ribut-ribut rebutan warisan dan sengketa tanah seperti yang terjadi di keluarga besarnya dulu. Maka, satu-satunya yang mungkin bisa dianggap sebagai wasiatnya adalah pesan di belakang foto itu.

Los mengira atap rumahnya bocor setelah rampung membaca surat ayahnya. Kertas foto lusuh itu ketiban beberapa tetes air. Namun, langit-langit kamar tampak baik-baik saja. Saat mengusap pipinya, ia baru yakin yang bocor adalah kedua matanya. Los jarang menangis. Tiga hari sejak kematian sang ayah, ia sibuk menguleni perasaannya agar kesedihannya tercampur dengan penyesalan, kemarahan, ketakberdayaan, dan kesepian. Pada hari keempat, tulisan tangan ayahnya mencengkeram erat kesedihan Los. "Apa untungnya punya anak sepertiku?" bisik Los dalam hati. Hujan masih rontok di luar; ia masih punya banyak waktu; tetapi sisa-sisa semangatnya untuk beres-beres rumah sudah padam.

Ia mengembalikan harta karun peninggalan ayahnya ke tempat semula, sekaligus potret foto keluarganya. Tak ada ingatan yang tersisa dari masa-masa itu. Umurnya mungkin masih 2-3 tahun. Sementara ingatan Los paling muda adalah saat ia baru masuk sekolah dasar. Waktu itu, ia salah masuk kelas. Namanya terdaftar di kelas 1A, tetapi ia malah nyasar ke kelas 1B di sebelahnya. Wajar saja namanya tak dipanggil hingga akhir absensi. Ia pun maju ke depan seusai lonceng pulang, dan bilang kalau namanya belum dipanggil. Wali kelas tampak bingung, akhirnya nama Soleh Susanto ditulis di kolom paling bawah dengan pulpen merah.

"Gimana sekolahnya hari ini?" tanya Pak Sutardji saat menjemput anaknya depan gerbang sekolah.

"Ada 32 orang sekelas," jawab Los.

"Wah ramai ya. Kamu udah kenalan sama teman-teman?"

"Binar. Duduk sebangku sama Soleh. Orangnya gendut, rambutnya kriwil."

"Gurunya baik?"

"Bu Hartati, kecil orangnya, tapi suaranya keras. Baik-baik aja."

Malam harinya, wali kelas 1A menelepon ke rumah Pak Sutardji, bertanya mengapa anaknya tak masuk di hari pertama. Pak Sutardji meyakinkan sang guru kalau anaknya seharian di sekolah. "Saya sendiri yang antar-jemput." Kemudian ia baru ingat sepertinya nama wali kelas yang menelepon dan diceritakan Los berbeda. "Maaf Bu, tadi nama Ibu siapa?"

"Hastini, Bu Hastini, Pak."

"Tadi anak saya cerita wali kelasnya Bu Hartati."

"Bu Hartati?"

"Iya."

"Owalah..."

"Ada apa Bu?"

"Anak Bapak salah masuk kelas. Besok diantar ke kelas 1A ya. Tadi dia masuk 1B kayaknya."

Keesokan hari, Pak Sutardji mengantar Los sampai depan pintu kelas 1A dan bertemu langsung dengan Bu Hastini, meminta maap, dan memastikan lain kali tak terulang keluputan serupa. Perempuan itu berbadan besar, tapi suaranya lirih, kontras sekali dengan penggambaran Bu Hartati. Sepulang sekolah hari kedua, Los pun bercerita ia duduk sebangku dengan laki-laki bernama Ifan. "Kurus, tinggi, rambutnya lurus belah tengah," ujar Los. Semasa kecilnya, ia memang hanya mahir mengidentifikasi orang berdasarkan fisiknya.

Los tak punya ingatan sempurna tentang masa lalunya sebelum masuk SD. Ayahnya sempat bercerita pernah membawanya naik kapal ke Lampung hingga berendam air panas di Guci Tegal waktu TK, tetapi kenangan itu tetap mengendap dalam lumpur. Ia hanya bisa mengintipnya lewat cerita-cerita kedua orang tuanya, atau foto-foto lawas di album. Dan seberapa lama pun ia menatap potret-potret masa kecilnya yang terekam kamera, kertas-kertas itu hanya membisu. Mereka tak bercerita seperti orang tuanya dulu. Dan Los percaya, beberapa tahun ke depan, ia benar-benar akan melupakan bagaimana suara ayahnya. Seperti ia juga telah lupa suara ibunya. Beberapa kali ibunya datang dalam mimpi, tapi Los tak bisa memastikan itukah suara yang ia dengar semasa hidupnya. Karena itu ia yakin tak ada jembatan yang menyambungkan antara dunia-orang-hidup dan dunia-orang-mati.

Sehabis merapikan isi rak, Los melipat gumpalan selimut dan seprei kasur sekenanya lalu dimasukkan dalam lemari. Sementara gorden kembali dipasang menutupi jendela. Ia agak menyesal mengapa tadi mencopotnya. Siapa pula yang menyangka gairahnya bebersih rumah jadi berantakan seketika. Lewat jam 2 siang, hujan mulai jinak. Los bisa mendengar suara tetesannya tak seriuh saat pagi. Seiring cuaca yang mulai tenang di luar, stamina Los ikut menipis. Kepalanya terasa pening setelah tiba-tiba diwarisi hampir 200 gram emas. Semua batangan berkilau itu bakal ia tukar untuk nyawa kedua orang tuanya kalau mampu. Dan karena itu tidak mungkin, ia bingung bagaimana harus menghabiskannya.

"Menikah?" Los terus kebayang-bayang pesan ayahnya. Di usianya yang nyaris 30 tahun, ia tak pernah belajar bagaimana mencintai perempuan dengan sepantasnya. Semasa sekolah menengah, ia pernah naksir teman sekelas, Nabila namanya. Mereka berdua sama-sama penghuni ranking lima besar tiap rapotan. Kepintaran Bila memang menarik, tetapi yang lebih membuat Los terpikat adalah sikapnya yang sangat pendiam dan malu-malu.

Bangku-bangku di kelas mereka disusun empat baris. Keduanya duduk di dua baris paling tengah, tetapi Bila di deret ketiga sebelah kiri, dan Los deret keempat—juga sebelah kiri. Itu posisi sempurna karena Los bisa memerhatikan perempuan yang ditaksirnya hanya dengan menyerongkan pandangannya ke depan.

Suatu hari Los pernah mengamati Bila tak mencatat sama sekali selama jam pertama. Itu peristiwa langka karena ia tahu persis perempuan itu murid teladan. Alasannya sepele, tinta pulpennya habis. Los sempat melihatnya mencoba mencoret-coret halaman belakang buku dan tak berhasil. Ia merogoh seisi tas berharap ada alat tulis lain yang berfungsi, tapi nihil. Kemudian ia hanya membuka buku catatannya sambil mengantuk-antukkan pulpen di atasnya. Tak ada upaya sama sekali meminjam teman sebangku. Los hanya tersenyum di kursinya. Dan karena tak tahan dengan sikap Bila yang hanya pasrah, Los melemparkan pulpen tepat ke rambutnya yang dikuncir gaya french braid. Perempuan itu menoleh ke belakang, bertemu pandang dengan Los.

"Itu." Los menunjuk pulpennya yang terbaring di lantai, lalu memeragakan seolah-olah sedang menulis. Bila menjumput pulpen itu, sepintas melirik Los, kemudian sibuk menulis. Saat jam istirahat, ia mengembalikan pulpen pinjamannya sambil berterima kasih, tetapi Los tak menerimanya kembali. "Bawa aja, aku masih ada."

Selain di kelas, kedua remaja itu sering bersalipan dalam perpustakaan sekolah yang tak seberapa besar sewaktu istirahat. Beberapa kali buku yang Los pinjam sudah lebih dulu dipinjam perempuan berwajah lebar itu. Dan setiap menemukan nama Nabila pada lembar peminjam di belakang buku, Los selalu membatin, "Bagus juga seleranya." Lalu diam-diam, Los mulai sering mengepaskan jam kunjungannya ke perpustakaan dengan Bila. Ekor matanya selalu mengikuti ke mana Bila pergi setelah bel istirahat, hingga ekor rambut perempuan itu hilang dari pandangan. Kalau kedapatan ia mengarah ke perpustakaan sementara Los sedang asyik bermain voli, Los bakal pura-pura kebelet pipis dan meninggalkan lapangan.

Perempuan itu suka membaca cerpen dan di perpustakaan ada cukup banyak kumcer tersedia. Koleksi Ali Akbar Navis lumayan lengkap, dari Robohnya Surau Kami; Jodoh; Kabut Negeri Si Dali; sampai Hujan Panas dan Kabut Musim. Lalu ada berbagai antologi karangan Putu Wijaya, Umar Kayam, Budi Darma, NH Dini, hingga karya-karya penulis luar seperti Anton Chekov, Allan Poe, dan Najib Mahfuz. Sekali waktu, Los memberanikan diri menyela Bila yang terpaku pada bukunya. "Lagi baca apa?"

Ia mengangkat buku itu dengan sebelah tangan dan menunjukkan sampulnya sejenak: Rashomon karangan Akutagawa yang terjemahannya baru terbit.

"Bagus?" tanya Los lagi.

"Belum selesai. Baru setengah."

Lihat selengkapnya