Suara Dari Tribun

Setiawan Saputra
Chapter #5

Lima

Siang itu, setelah menyelesaikan kelas jurnalistik, Rio bergegas menuju ruang dosen untuk menemui Andika. Ia adalah salah satu dosen yang akrab dengan Rio, setiap kali pertemuan mereka selalu membicarakan tentang sepak bola.

Sepuluh tahun yang lalu, Andika sempat menjadi pelatih di salah satu klub sepak bola, yang berada di Divisi 1. Andika terkena sanksi, karena suatu kasus yang membuatnya terhenti menjadi pelatih sepak bola, dan hingga akhirnya Andika beralih menjadi dosen di Universitas Bhagawanta.

Rio masuk ke dalam ruangan dosen, terlihat Andika sedang fokus menatap layar komputernya. “Assalamualaikum,” sapa Rio di depan pintu ruangan.

Andika mengalihkan pandangannya dari layar komputer, menatap seorang pria yang tengah berdiri di ambang pintu, “Hei, Rio.. Mari masuk.” Rio pun masuk, dan duduk pada kursi depan meja kerjanya.

“Kamu tahu, apa itu match fixing?” pertanyaan pertama yang dilontarkan sang dosen pada kehadiran Rio.

“Seperti manipulasi sepak bola?” tanya Rio.

“Kurang lebihnya begitu, Rio. Setiap orang ditanyakan tentang match fixing, rata – rata mereka menjawab manipulasi sepak bola, dan pengaturan skor di pertandingan sepak bola. Tapi lebih jelasnya, match fixing itu berlatar belakang perjudian sepak bola.”

“Perjudian sepak bola, yang biasanya dilakukan jelang pertandingan. Seperti contoh, laga AC Milan lawan Barcelona, aku memegang AC Milan, aku keluarkan uang 500 ribu, jika nanti AC Milan menang, aku akan dapat uang lebih banyak, gitu Pak?”

“Sama, tapi itu berbeda, Rio.”

Rio melipatkan kedua tangannya di atas meja, menatap Andika, mencoba menangkap dan memahami setiap katanya. Kemudian tenang, dan menyimak pembicaraannya.

“Maksudku, match fixing itu sama dengan perjudian sepak bola, tapi berbeda dengan cara mainnya. Perjudian itu tak hanya melibatkan sang penjudi, tapi bisa juga melibatkan sang pentinggi klub, pelatih, pemain, hingga wasit.”

“Terus apa gunanya mereka dalam permainan itu, Pak?” tanya Rio pada Andika.

 “Sang penjudi biasanya datang pada pentinggi klub, pelatih, pemain, dan wasit, supaya match fixing itu terjadi, Rio. Setelah mereka setuju untuk melakukan match fixing, dan sang penjudi membayarnya. Mereka akan bermain, sesuai apa yang ia inginkan.”

“Jadi, hanya dia yang tahu, siapa yang menjadi pemenang di setiap pertandingan?”

“Ya, Rio. Benar itu, hanya dia yang tahu siapa yang menang, dan berapa skor akhirnya.”

“Licik juga ya, Pak?”

Lambat – lambat Andika tertawa, “Semuanya bisa dipermainkan, Rio. Kamu tahu kasus klub Jaya FC?”

“Kasus sepak bola gajah, yang membuat klub bertabur bintang itu degradasi ke Divisi Utama,” jawab Rio.

“Ya, benar sekali, Rio, dan di balik itu pasti ada yang ngatur. Leodien FC ingin finish di Runner Up Liga Utama, supaya ia masuk ke Liga Champions. Manajemen Leodien FC meminta Manajemen Jaya FC untuk mengalah dalam laga itu. Tapi bodohnya, kekalahan Jaya FC di kandangnya sendiri terlalu telak. Sekarang dalam logika, klub memiliki peluang menang 80 persen jika bermain di kandang sendiri. Tapi kenapa bisa, Jaya FC sampai dikalahkan dengan skor 1-20 di kandang sendiri. Apakah itu gila, Rio?”

Rio hanya berdecak sambil menggelengkan kepala, setelah mendengarkan cerita dari seorang dosen itu, sungguh tragis persepakbolaan ini. Ternyata tidak hanya soal bunuh membunuh antar kelompok suporter, tapi juga soal kelicikan yang berada di lapangan.

Nonton sepak bola, layaknya nonton wayang kulit yang mempunyai dalang sendiri, yang bisa mengatur alur cerita, dan bagaimana hasil akhirnya. Dan dengan adanya itu, klub bertabur bintang sudah tiada harganya lagi, mereka lebih mementingkan sekoper uang, barang berharga, atau bisa beberapa gram kepingan emas untuk menjadi pemenang.

***

Rio berjalan menyusuri lorong kampus menuju kantin, setelah lama ia beribacara tentang kelicikan pertandingan sepak bola, dengan sang dosen itu, membuat perutnya terasa lapar dan butuh asupan makanan.

Rio sangat beruntung bisa dekat dengan Andika, dengan adanya beliau, Rio jadi bisa mengatuhi lebih jauh tentang persepakbolaan. Tapi sayang, sejauh ini Rio hanya menjadi penikmat sepak bola, bukan hobi bermain bola. Jujur saja, Rio tidak bisa menendang bola.

Setelah memesan nasi goreng dan es teh manis, Rio segera duduk di salah satu kursi yang ada di kantin, sembari menunggu pesanannya datang. Di saat itu pula, sahabat Rio datang menghampirinya. Dia adalah Dwi, seorang sahabat Rio yang sama – sama berasal dari Kota Metropolitan.

“Weeeh, sudah jadi member remsi Fans AC Milan.” Dwi meletakan kotak berwarna hitam, yang bertuliskan Curva Sud Milano di hadapan Rio.

Lihat selengkapnya