Membahas tentang cinta tim kebanggaan memang tiada habisnya, apa lagi sampai bersangkutan dengan mafia – mafia di lapangan bola, memang sesuatu yang mustahil untuk berakhir.
Hari Minggu, Rio berencana untuk mengajak Gesya pergi ke kafe. Untuk melepaskan rasa penat dan lelah, setelah berurusan dengan tugas kuliah yang menumpuk. Selain itu, ini adalah pertama kali Rio memberanikan diri untuk mengajak Gesya dinner berdua.
Yang ditunggu – tunggu akhirnya keluar juga, Gesya seperti biasanya berpenampilan yang super simpel dan tidak ribet. Ia baru keluar dari rumahnya, dan menghampiri Rio yang sudah menunggunya di teras rumahnya.
“Rio.., ayo berangkat.”
Rio mengangkat kepalanya, menatap Gesya yang sudah berdiri di hadapannya. “Kamu, pakai ini aja?”
“Iya, emang kenapa?”
Rio menatap Gesya sebentar, melihat penampilan Gesya kali ini. “Nggak papa, sih,” jawabnya.
Memang, Gesya hanya memakai pakaian yang sangat simpel. Kaus hitam lengan pendek, kemeja flanel, dan celana jeans robek – robek. Rio sudah tidak kaget lagi dengan penampilan Gesya yang seperti itu. Rio sudah memakluminya, memang itu adalah karakter Gesya yang tidak mungkin bisa diubah.
“Jadi.., yuk kita berangkat.” Gesya langsung menaiki motor Rio, dan kemudian Rio segera menjalankan motornya, menuju ke sebuah kafe yang menjadi tujuan utama mereka berkencan.
***
Mereka berdua telah sampai di kafe, Rio dan Gesya langsung masuk ke dalam kafe itu, memesan menu makanan dan minuman, kemudian menduduki salah satu kursi yang ada di dalam kafe itu. Tampak suasana kafe lumayan ramai, terdengar percakapan dan cadaan orang – orang yang di dalam kafe tersebut, ditambah suara lonceng yang selalu berbunyi setiap ada orang masuk ke dalam kafe itu.
Di tengah – tengah kesibukan suasana di dalam kafe, pandangan Rio selalu tak lepas memandangi wajah Gesya, tak sadar kedua sudut bibir Rio mengembang saat berada di hadapan gadis tribun itu.
Sungguh bahagianya Rio, akhirnya bisa berdua dengan seorang gadis yang ia sukai, sebenarnya ada sebuah rasa yang paling dalam tentang Gesya. Sejak pertama kali bertemu di kafe dekat stadion, Rio sudah menyukainya. Dan lama – kelamaan tumbuhlah rasa keinginan untuk mendapatkan hati gadis tribun itu.
“Biasa aja lihatnya,” ucap Gesya membuat lamunan Rio seketika memudar. “Ada apa?”
“Sya..,” panggil Rio terasa sangat canggung, karena Rio masih bingung harus memulai percakapan dari mana dengan Gesya.
“Apa?”
“Sejak kapan kamu menyukai sepak bola, Sya?.”
“Sejak masih SD.”
“Kok bisa sih, seorang cewek suka sama sepak bola?”
“Emang nggak boleh?”
“Ya maksudku aneh gitu, Sya. Ada cewek yang suka banget nonton sepak bola.”
Perlahan Gesya tertawa. “Jadi mau sampai kapan, seorang cewek yang sukanya cuma nonton drama Mandarin?”
“Bener juga sih.”