Rio, akhirnya telah pulang dari rumah sakit. Ia diizinkan pulang ke rumahnya, dan selama beberpa hari Rio diwajibkan untuk beristirahat total. Jelas Rio tidak bisa mengikuti acara nonton bareng di kafe, bersama kelompok BYB.
Seorang dara sedang berdiri di depan pintu, dan mengetuk pintu itu. Tak lama kemudian, pintu di hadapannya terbuka. Sesosok pria tampan berdiri gagah di hadapan dara itu, dengan mengembangkan kedua sudut bibirnya yang terasa hangat.
“Eh, Gesya.”
“Sore, Pah,” balas Gesya dengan senyuman tak kalah hangat.
“Sore juga, calon menantu. Mau cari Rio ya?”
Gesya hanya mengangguk sebagai jawabannya.
“Masuk,” Tomi melebarkan pintunya dan bergeser, memberikan jalan untuk Gesya masuk ke dalam rumah. “Rio masih tidur sedari pagi, mungkin kecapekan. Coba kamu masuk ke kamarnya, sekalian bangunin dia, udah sore, dia belum makan.”
Gesya terdiam untuk beberapa saat, perasaannya berubah canggung. Gesya ragu dengan perkataan papahnya Rio, apakah benar ia berbicara seperti itu? “Beneran ini, Pah? Nggak apa – apa?” tanya Gesya dengan nada canggungnya.
“Nggak apa – apa, masuk aja, bangunin dia suruh makan.”
Gesya menghela napasnya perlahan, sebenarnya ia merasa ragu untuk masuk ke kamar Rio. Tapi, memang ini perintah papahnya Rio, terpaksa Gesya harus melakukannya. Gesya berjalan meninggalkan posisinya, bergegas menuju ke kamar Rio.
Langkah Gesya terhenti di depan pintu berwarna putih, yang memiliki stiker bertuliskan ‘Forza Magico Milan’ di depannya. Gesya hanya tersenyum melihatnya, kemudian dara berambut pendek itu mulai mengentuk pintu kamar, namun tidak ada respons dari Rio yang ada di dalam. Gesya mengentuk pintu itu lagi lebih keras, masih tidak ada respons.
“Buka aja, Gesya. Itu pintu tidak dikunci,” teriak Tomi dari jauh.
Gesya mengangguk, terpaksa akhirnya dengan lancang Gesya meraih kenop pintu dan membukanya. Setelah pintu kamar itu terbuka, Gesya langsung mendapati Rio yang masih tertidur, dengan posisi miring. Perban kepalanya sudah dilepas, dan sudah diganti kapas yang menempel di dahi Rio.
Gesya terdiam untuk beberapa saat. Wajah polos Rio saat tertidur, membuat senyuman di bibirnya semakin terangkat. Gesya mulai masuk ke dalam kamar Rio, kedua mata Gesya mengamati seisi kamarnya, terdapat banyak sekali poster – poster dan pernak – pernik berbau klub asal Italia itu, apa lagi kalau bukan AC Milan, bahkan tulisan besar tampak di tembok kamar Rio yang bertuliskan ‘Noi Siamo La Curva Sud’
Kemudian langkah Gesya tertuju ke sebuah toples bertuliskan ‘My Dream To Go San Siro Stadium’ di atas nakas kamarnya. Gesya sedikit melihat toples itu, kosong tak ada isinya. Gesya baru tahu sekarang, ternyata Rio mempunyai impian pergi ke Stadion San Siro Milan.
Setelah melihat – melihat seisi kamar Rio, Gesya segera mendekat untuk membangunkan Rio, tetapi dia sedikit canggung karena takut mengganggunya. Gesya memegang bahu Rio dan menggerakannya perlahan. “Rio! bangun, Rio, udah sore.”
Rio masih tetap berada di posisinya, seakan Rio tampak sangat nyaman. Bahkan Rio tidak merasakan sentuhan tangan Gesya sama sekali. Namun, Gesya masih belum menyerah, ia tetap membangunkan Rio. “Rio, hei! Bangun, Rio.., udah sore.”
Rio sedikit menggerakan tubuhnya, mengernyitkan dahi, dan merenggangkan ototnya. Rio sedikit membuka matanya setengah sadar. Melihat seorang cewek berparas cantik, berambut pendek berdiri di hadapannya.