Aku ingin Kenanga punya pemikiran yang normal soal pernikahan. Menurutku pemikirannya itu sedikit tidak umum. Bagaimana bisa hal yang sebahagia pernikahan bisa dicap sebagai sebuah pintu menuju penderitaan?
Aku akui apa yang dijelaskannya memang logis, tapi pasti ada hal logis lain yang bisa kutawarkan untuk sedikit menggeser apa yang ia yakini soal pernikahan. Maka, aku ingin mengetahui responnya terhadap pertanyaanku soal cinta.
Kenanga menjawab dengan kesan yang sangat berhati-hati. Aku tak tahu apa yang sedang 'dijaganya'.
"Setiap orang pasti merasakan cinta. Itu manusiawi. Perasaan itu dianugerahkan dan siapapun pasti ga bisa menolak ketika hal itu sedang bekerja di dalam dirinya," jawab Kenanga.
"Berarti pernah dong?" tegasku.
"Ya, pernah. Tapi soal eksekusinya seperti apa, perasaan hanyalah perasaan. Setiap orang punya cara eksekusi yang berbeda-beda. Menentukan keputusan apakah mau berkomitmen buat melakukan apa-apa bareng si dia atau enggak itu adalah pilihan."
"Dan ketika kamu merasakan jatuh cinta itu, apa yang kamu pilih?" tanyaku.
"Karena yang pernah aku alami bukan dalam pernikahan, jadi bareng kemana-mananya ya ngalir aja. Kalau si dianya lagi ga mau, aku ga bisa maksain pasanganku itu buat nemenin aku. Begitu pun aku, aku ga bisa dipaksa kalau lagi ga mau jalan," jelasnya.
Sial! Kenanga bisa membaca arah pertanyaanku.
"Sementara pernikahan bisa memaksa dua orang buat terus sama-sama. Apapun keadaannya, mau ga mau. Ga ada pilihan lain. Kalau pun ada, pilihannya itu adalah keluar dari pernikahan itu, ya... divorce," lanjutnya.
"Jadi, menurut Kenanga jatuh cinta itu akan lebih baik dilakukan tanpa pernikahan?"
"Iya, Mas."
"Dan bagaimana soal hubungan biologisnya?" tanyaku lagi.
"Kalau menurut Mas Usop sendiri bagaimana?"
"Kenapa jadi nanya balik?" tanyaku heran.
"Aku perlu tahu latarbelakang kamu, Mas. Biar aku bisa membahasakan maksudku, karena aku agak berhati-hati kalau terkait dengan hal-hal yang berkaitan dengan dogma," jawabnya.
Gila sih, cewek ini. Aku akui dia ada di level yang berbeda denganku, apalagi perempuan-perempuan yang kukenal selama ini. Yang semula aku bermaksud untuk membalikkan pikirannya, sekarang dia yang jadi menakar pikiranku.
Kalau nanti jadinya malah aku yang ketahuan punya pergaulan bebas, kan aku jadi malu sendiri. Aduh, bagaimana ini? Aku harus berhati-hati dalam bercerita. Kenanga tidak boleh tahu kalau aku sudah pernah melakukan hubungan biologis di luar pernikahan. Pasti aku akan terkesan sebagai orang yang berengsek sekali di matanya. Bisa-bisa Kenanga menjauhiku nantinya.
"Aku adalah salah seorang yang berpegang pada prinsip bahwa hubungan biologis yang benar dilakukan oleh dua orang yang terikat pada pernikahan. Prinsip yang umum di masyarakat, ya kan?" Jawabanku adalah jawaban yang cari aman, tentu saja. Idealnya prinsip yang kukatakan memang seperti itu, tapi siapa pun bisa melakukan kesalahan, termasuk aku.
"Kalau kamu, Kenanga?" tanyaku.