Suara Puitis Pacar Online-ku

Bulan Separuh
Chapter #26

Mengompol

"Lucu kan Mas? So sweet banget, dipeluk sama pacarnya. Ditium-tium pipinya, terus pacarnya gigit hidungnya. Lucuuuu...!" Kenanga berbicara dengan gemas.

Aku baru saja ditunjukkannya video pendek adegan romantis sepasang kekasih.

"Kamu mau Mamas gituin?"

"Hihi..." Nada suara Kenanga seperti sedang merona pipinya.

"Sini Sayang, sini sini, Mamas peyuk sini. Uuh... Biar hangat nih, biar hangat," ucapku.

"Uu... Kamu romantis banget sih, Mas."

"Iya dong, Sayang."

Seiring waktu suasana mengalir begitu saja seperti sungai yang tenang dan berkelok. Arusnya tak terlihat, tapi ternyata begitu menghanyutkan. Obrolan-obrolan yang bersifat romantis semakin menggiring aku dan Kenanga nyaris pada kenikmatan phones*x.

Aku dan Kenanga membayangkan adegan yang sedang kami dialogkan seperti nyata. Suara-suara kecupan, helaan napas dan terkadang ada kicauan burung malam yang lewat, semua itu menggantikan keberadaan kata-kata.

Malam menjadi begitu khusyuk seolah aku dan Kenanga benar-benar sedang bertemu secara fisik. Darah berdesir dan degupan jantung semakin kuat terasa.

"Sudah lama sekali, Sayang. Huuh..." ucapku sambil memejamkan mata. Dengan memejamkan mata, bayangan lakon yang kubuat sendiri di dalam kepala terasa begitu nyata.

"Sudah lama apanya, Mas?"

"Sudah lama aku tidak merasakan ini," lanjutku.

"Oh ya? Seperti apa rasanya?" Pertanyaan Kenanga semakin membuatku menggebu-gebu, tapi aku bingung harus bagaimana caranya agar aku bisa menunjukkannya kepada Kenanga. Agar ia bisa merasakan apa yang kurasa. Di mana, aku bisa merasakan kehadirannya, bisa merasakan permukaan kulitnya, lembut bibirnya dan hangat napasnya.

Aku masih terjebak pada lidahku yang mendadak kaku. Namun, Kenanga masih menunggu kata-kata dariku.

"Bayangkan saja, Sayang," ucapku.

"Apa yang harus kubayangkan?" Suara Kenanga terdengar semakin berat, seperti mengantar kami berdua pada suasana yang paling kantuk yang pernah ada. Tapi, kami berdua tidak ingin tertidur dan terus berusaha bertahan agar terus terjaga.

Akhirnya aku pun menceritakan bagaimana sebuah ciuman yang nikmat itu terjadi. Tahap demi tahapnya aku katakan dengan pelan agar Kenanga bisa menghayatinya.

Entah dalam keadaan sadar atau tidak, helaan napas Kenanga mengandung suara yang begitu lirih. Apa yang baru saja kudengar itu membuat emosiku berkecamuk. Ingin rasanya meneruskan drama yang begitu terasa nyata ini, tapi aku enggan.

"Mas, kenapa diam?"

Aku tersentak. Ya, baru saja aku diam. Sebenarnya aku sedang menanti suara lirih itu terdengar lagi, tapi ternyata justru Kenanga menyadarkanku dari lamunan yang perlahan menggerayangi rongga telingaku dan terus menyelusup masuk ke dalam isi kepalaku.

"Ga kenapa-kenapa, Sayang," jawabku.

"Ih, Mamas. Pasti bohong! Ga mungkin kalau tiba-tiba jadi diam begini," ucap Kenanga kesal.

Lihat selengkapnya