Tak sampai hati aku mendengarkan cerita Nurmala. Ia bercerita bahwa selama sekian tahun ia bertahan dengan suaminya yang kasar dan suka main perempuan. Ia dan keluarganya tidak bisa berbuat apa-apa karena status sosial keluarga suaminya yang ada di atas mereka.
Suasana haru melingkupi aku dan Nurmala sore ini. Perasaan yang pernah hadir kini terasa semakin kuat. Aku ingin menjadi pelindungnya, doronganku untuk menikahinya pun semakin kuat.
"Soal kepergianku ke Jawa dua minggu lagi..." ucapku perlahan.
"Ya Mas? Ada apa dengan itu?" tanya Nurmala.
"Ikutlah bersamaku." Aku mantap mengatakannya.
"Ha? Apa yang akan kita lakukan? Lagipula bukannya kamu sedang ada urusan bisnis, Mas? Apa tidak akan memberatkan kalau nanti aku ikut?"
"Itu bisa diatur, Nurmala. Aku hanya butuh sehari atau dua hari, itu pun tidak bermalam di sana dan selama itu kamu bisa menungguku di penginapan. Setelah urusanku selesai kita akan menemui keluargamu, Nurmala. Aku ingin memperbaiki kesalahan yang dulu pernah kulakukan," ungkapku.
"Maksud kamu? Memperbaiki apanya?"
"Nurmala..." Aku menggenggam erat kedua tangan Nurmala sambil menyorotkan mataku yang mantap menatapnya. "Berikan aku kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki hal yang dulu pernah kulakukan! Kalau dulu aku mengantarkanmu pulang untuk pernikahanmu dengan lelaki itu, kali ini aku yang akan menikahimu."
Nurmala terdiam. Kedua tangannya ia lepaskan. Matanya berkaca-kaca, lalu ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"Kenapa, Nurmala?"
Nurmala menyambarku. Pelukannya erat sekali. Ia menangis dengan suara yang bahagia. "Terima kasih, Mas. Terima kasih. Ini adalah hal yang kutunggu-tunggu. Ini adalah hal yang kuimpi-impikan. Hampir setiap malam aku berdoa dan sekarang Tuhan telah mengijabah doaku. Terima kasih, Mas," ucapnya dengan begitu emosional.
Mataku pun berkaca-kaca. Aku menyuarakan tawa yang gemetar, melepaskan kebahagiaan yang mungkin sama besarnya seperti yang sedang Nurmala rasakan sekarang.