Suara Puitis Pacar Online-ku

Bulan Separuh
Chapter #40

Ia Pun Pergi

Waktu demi waktu bergulir seiring kulalui perjalanan jauh bersama Nurmala. Kami pun tiba di penginapan pada kota yang sama tempat Kenanga tinggal. Aku dan Nurmala memesan dua kamar terpisah berukuran kecil.

Di saat waktu istirahat aku dan Nurmala berdiam di kamar masing-masing. Aku pun menjalin komunikasi dengan Kenanga dan besok pagi kami akan menunaikan janji temu. Melalui telepon suara Kenanga terdengar begitu excited. Aku menyimak ucapan demi ucapan Kenanga sambil memainkan sebuah merchandise di jariku, sebuah gantungan kunci dengan kain khas daerah tempat tinggalku. Aku akan memberikannya sebagai kenang-kenangan.

Waktu berlalu dan hari pun berganti. Aku dan Nurmala menikmati sarapan bersama di teras depan kamar. Pagi ini sarapan di antarkan ke depan kamar kami. Dengan dua cangkir teh manis, dua piring nasi goreng dan dua botol kecil air mineral, kami berdua pun bercakap-cakap.

"Gimana persiapan Mas bertemu rekan bisnis?" tanya Nurmala.

"Menurutmu?" kataku setelah kupandangi kemejaku di bagian lengan dan dada.

Nurmala tersenyum. "Kalau penampilan sih udah oke banget." Ia pun mengendus. "Harum lagi! Ternyata kamu ganteng juga ya Mas? Hehe..."

"Loh? Kok baru sadar? Kalau ga ganteng mana mungkin kamu jatuh cinta sama Mamas, Nurmala."

Kami pun bercanda ria dan sesekali kulihat Nurmala terpana dengan penampilanku. Aku memang jarang berdandan rapi seperti ini. Sekarang aku sedang menggunakan kemeja polos bermerek dan bawahan yang sepadan. Sepatuku pun sudah aku siapkan untuk mendukung pakaianku.

Setelahnya aku pun memesan ojek motor online agar alamat yang Kenanga tunjukkan akan langsung bisa kutuju. Sambil menunggu ojek tersebut, aku pun berjalan ke depan gang untuk membeli rokok.

Tiba-tiba di sebuah jalan sempit, aku didatangi dua orang lelaki bertubuh besar dengan tampang sangar. Tanpa penjelasan mereka langsung menghajarku.

"Apa yang abang-abang inginkan sebenarnya?" ucapku dengan bibir yang terluka dan sambil menahan sakit di perutku.

"Halah berisik!" Lagi dan lagi perutku mereka hajar.

Aku tertolong oleh seorang penduduk setempat yang hendak lewat jalan sepi ini. Ia adalah seorang pria tua yang berteriak dan mengacung-ngacungkan goloknya kepada dua orang asing itu. Kedua orang asing itu pun melarikan diri.

Pria tua yang nampaknya adalah tokoh yang cukup disegani di tempat ini pun mengantarkanku ke penginapan. Sesampainya aku di penginapan, Nurmala pun membersihkan luka-lukaku. Ia mengompres perutku yang lebam-lebam dengan es.

"Siapa sebenarnya mereka, Mas?"

"Entahlah, mungkin aku ini adalah korban salah sasaran," jawabku. Padahal di dalam pikiranku, aku teringat akan pesan dari teman pemilik akun-akun bot itu. Apakah ini yang dimaksudkannya?

Aku pun mencoba menghubungi temanku itu. Aku minta Nurmala meninggalkanku untuk memberiku ruang berbicara dengan temanku melalui telepon. Aku tidak ingin Nurmala mendengarkan apa yang sedang kami bahas.

Temanku itu pun melalui obrolan telepon memberitahu aku bahwa ada seseorang yang mencoba menyadap ponselku atas bantuan temannya yang ahli IT. Menurut temanku itu semua ini adalah ide Sastra. Dulu Sastra pernah mengancamnya dan ia memberi solusi dengan mengarahkannya pada temannya yang ahli IT.

Temanku ini bilang ia sama sekali tidak membocorkan rahasia keterlibatanku pada kekacauan drama suara itu. Awalnya ia merasa aman-aman saja karena berdasarkan informasi dari ahli IT itu yang disadap adalah ponsel orang lain. Namun, yang membuat resah adalah ketika ahli IT itu memberitahunya bahwa ada ponsel lain yang tiba-tiba disadap atas permintaan Sastra. Setelah ditelusuri itu adalah ponselku.

Temanku ini bilang ia juga sempat mendengar kabar bahwa Sastra sedang mengalami suasana duka, di mana orang tuanya meninggal dunia. Entah bagaimana kaitannya dengan itu, katanya, maka ahli IT itu pun membantunya melakukan penyadapan ponselku.

Mungkin Sastra sudah tahu tentang keterlibatanku pada kekacauan drama suara itu. Pasti aku telah membuatnya marah, di mana ia jadi kehilangan kesempatan atas pekerjaan yang ia butuhkan itu. Mataku membulat saat menyadari hal lainnya, yaitu orangtua Sastra yang meninggal dunia. Mungkin Sastra dendam kepadaku dan mengadukanku pada suami Kenanga.

Lihat selengkapnya