Anakku
Tahun itu adalah tahun paling kelam dalam hidup bapak. Kobaran api dimana-mana. Teriakan demi teriakan entah itu minta tolong, agitasi para pendemo, atau pentungan tentara dan polisi bertebaran dimana-mana. Mahasiswa datang silih berganti. Suasana mencekam terasa begitu dekat. Sampai sayup-sayup suara itu terdengar begitu lekat dan mendekat. Suara orang yang paling bapak kasihi. Suara orang yang bapak cintai. Dan suara orang yang selalu membuat bapak menjadi manusia paling bahagia di dunia ini.
Suara itu suara ibumu. Tangisnya begitu lirih ketika duduk bersimpuh di hadapan kakek dan nenekmu. Ia berusaha menahan segala emosi yang tumpah dalam dirinya. Berbaur dengan alir air mata dan segala yang menjadi beban di pundaknya. Bapak hanya bisa menatap kosong semua yang ada. Namun paham bahwa ibu kalian tengah berusaha mengobati luka batin bapak dan juga dirinya. Peristiwa pahit itu masih terekam jelas dalam semua ingatan. Termasuk bapak dan ibu. Ketika dua tentara entah dari mana datangnya tiba-tiba merangsek masuk ke toko mungil kita. Toko yang dirintis dengan susah payah, namun tiba-tiba berantakan dan buyar begitu saja.
Sepatu lars mereka terdengar begitu menyakitkan. Suaranya sampai memekakkan telinga bapak. Meski terdengar berlebihan tapi demikianlah yang bapak rasakan. Lalu, dengan pentungan dan segala persenjataan yang ada pada diri mereka, bapak dipukuli habis-habisan. Ibumu diseret entah kemana. Suaranya nyaris lesap seiring asap pembakaran yang membumbung ke atas petala. Bapak masih ingat wajah dua tentara yang tak tahu sopan santun itu. Wajah yang kemudian kita kenal sering tampil di tivi-tivi.
Dan ibumu kemudian bercerita, bahwa di siang hari penuh petaka dan sial itu. Ia diperlakukan tak selayaknya seorang perempuan.