Anakku
Kau tahu mengapa aku memberimu nama Langit Birru? Nama sederhana yang selalu membuatku terasa begitu dekat dengan langit biru di hari itu. Hari paling kelam ketika teriakan demi teriakan para mahasiswa berbalas tembak menembak dari aparat. Hari dimana toko-toko berubah menjadi kobaran api sementara ratusan manusia terjebak dalam satu kekalutan. Hari dimana para penjarah mulai melakukan tindakannya. Membawa apa yang bisa dibawa. Melucuti apa yang seharusnya dilucuti.
Sementara di balik istana, semua orang penting sibuk dengan perannya masing-masing. Kerusuhan di luar sudah tiada dapat dikendalikan. Dan kita sama-sama tahu bahwa pada akhirnya pemerintah akan segera lumpuh. Sementara sang tiran tak sedikit pun beranjak memenuhi pinta para mahasiswa di luaran sana untuk sekadar meletakkan jabatannya. Ia tetap dengan segala jumawanya, menganggap dirinya sebagai satu dari sekian yang dinanti rakyat. Menganggap bahwa partai yang mengusungnya akan tetap kokoh meski hilir mudik protes dilayangkan dengan begitu kencang tanpa mengenal kata henti.
Kau tahu, aku dan ibumu masih bersembunyi dalam gelap. Memutar banyak memori ketika popor senjata aparat memaksa mulutku untuk bungkam. Ketika tubuh ibumu diperlakukan semena-mena oleh mereka. Atau ketika toko tempat kita menggantungkan segala penghidupan dijarah habis masa. Ah, rasanya gelap sudah dunia bapak, ibu dan toko kebanggaan ini. Semua tak lagi sama. Sementara beban luka, trauma, dendam dan beribu sahutan pencarian atas nama-nama yang dipaksa hilang tetap berlanjut.
Menjadi musim paling asing ketika di halaman depan istana kebanggaan kita, bau demi bau anyir darah masih saja kita cium. Bau yang setiap tahun selalu dibersihkan meski berkali-kali pula ia dijadikan alat untuk sekadar berebut kuasa juga suara.